BAB
I
Pendahuluan
Kerajaan Islam di Indonesia
diperkirakan kejayaannya berlangsung antara abad ke-13 sampai dengan abad
ke-16. Timbulnya kerajaan-kerajaan tersebut didorong oleh maraknya lalu lintas
perdagangan laut dengan pedagang-pedagang Islam dari Arab, India, Persia,
Tiongkok, dll. Kerajaan tersebut dapat dibagi menjadi berdasarkan wilayah pusat
pemerintahannya, yaitu di Sumatera, Jawa, Maluku, dan Sulawesi.
Kerajaan Islam di Sumatera
Periode tahun tepatnya
kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera masih simpang siur dan memerlukan rujukan
lebih lanjut.
·
Kesultanan Perlak (abad ke-9 - abad
ke-13)
·
Kesultanan Samudera Pasai (abad
ke-13 - abad ke-16)
·
Kesultanan Malaka (abad ke-14 - abad
ke-17)
·
Kesultanan Aceh (abad ke-16 - 1903)
Kerajaan Islam di Jawa
·
Kesultanan Demak (1500 - 1550)
·
Kesultanan Banten (1524 - 1813)
·
Kesultanan Pajang (1568 - 1618)
·
Kesultanan Mataram (1586 - 1755)
·
Kesultanan Cirebon (sekitar abad
ke-16)
Kerajaan Islam di Maluku
·
Kesultanan Ternate (1257 - ..... )
·
Kesultanan Tidore (1110 - 1947?)
Kerajaan Islam di Sulawesi
·
Kesultanan Gowa (awal abad ke-16 -
1667?)
·
Kesultanan Buton (1332 - 1911)
Kerajaan Islam di Kalimantan
·
Kerajaan Makasar
PEMBAHASAN
Kerajaan Islam di Sumatera
Periode tahun tepatnya
kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera masih simpang siur dan memerlukan rujukan
lebih lanjut.
·
Kesultanan
Perlak (abad ke-9 - abad ke-13)
Perlak
adalah kerajaan Islam tertua di Indonesia. Perlak adalah sebuah kerajaan dengan
masa pemerintahan cukup panjang. Kerajaan yang berdiri pada tahun 840 ini
berakhir pada tahun 1292 karena bergabung dengan Kerajaan Samudra Pasai. Sejak
berdiri sampai bergabungnya Perlak dengan Samudrar Pasai, terdapat 19 orang
raja yang memerintah. Raja yang pertama ialah Sultan Alaidin Saiyid Maulana
Abdul Aziz Syah (225 - 249 H / 840 - 964 M). Sultan bernama asli Saiyid Abdul
Aziz pada tanggal 1 Muhharam 225 H dinobatkan menjadi Sultan Kerajaan Perlak.
Setelah pengangkatan ini, Bandar Perlak diubah menjadi Bandar Khalifah.
Kerajaan
ini mengalami masa jaya pada masa pemerintahan Sultan Makhdum Alaidin Malik
Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat (622-662 H/1225-1263 M). Pada masa
pemerintahannya, Kerajaan Perlak mengalami kemajuan pesat terutama dalam bidang
pendidikan Islam dan perluasan dakwah Islamiah. Sultan mengawinkan dua
putrinya: Putri Ganggang Sari (Putri Raihani) dengan Sultan Malikul Saleh dari
Samudra Pasai serta Putri Ratna Kumala dengan Raja Tumasik (Singapura
sekarang). Perkawinan ini dengan parameswara Iskandar Syah yang kemudian
bergelar Sultan Muhammad Syah.
Sultan
Makhdum Alaidin Malik Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat kemudian digantikan
oleh Sultan Makhdum Alaidin Malik Abdul Aziz Syah Johan Berdaulat (662-692
H/1263-1292 M). Inilah sultan terakhir Perlak. Setelah beliau wafat, Perlak
disatukan dengan Kerajaan Samudra Pasai dengan raja Muhammad Malikul Dhahir
yang adalah Putra Sultan Malikul Saleh dengan Putri Ganggang Sari.
Kehidupan ekonomi
Perlak
merupakan kerajaan yang sudah maju. Hal ini terlihat dari adanya mata uang
sendiri. Mata uang Perlak yang ditemukan terbuat dari emas (dirham), dari perak
(kupang), dan dari tembaga atau kuningan.
Kehidupan Sosial-Budaya
Perlak
dikenal dengan kekayaan hasil alamnya yang didukung dengan letaknya yang sangat
strategis. Apalagi, Perlak sangat dikenal sebagai penghasil kayu perlak, yaitu
jenis kayu yang sangat bagus untuk membuat kapal. Kondisi semacam inilah yang
membuat para pedagang dari Gujarat, Arab, dan Persia tertarik untuk datang ke
daerah ini. Masuknya para pedagang tersebut juga sekaligus menyebarkan ajaran
Islam di kawasan ini. Kedatangan mereka berpengaruh terhadap kehidupan
sosio-budaya masyarakat Perlak pada saat itu. Sebab, ketika itu masyarakat
Perlak mulai diperkenalkan tentang bagaimana caranya berdagang. Pada awal abad
ke-8, Perlak dikenal sebagai pelabuhan niaga yang sangat maju.
Model
pernikahan percampuran mulai terjadi di daerah ini sebagai konsekuensi dari
membaurnya antara masyarakat pribumi dengan masyarakat pendatang. Kelompok
pendatang bermaksud menyebarluaskan misi Islamisasi dengan cara menikahi
wanita-wanita setempat. Sebenarnya tidak hanya itu saja, pernikahan campuran
juga dimaksudkan untuk mengembangkan sayap perdagangan dari pihak pendatang di
daerah ini.
·
Kesultanan
Samudera Pasai (abad ke-13 - abad ke-16)
Kerajaan
ini didirikan oleh Sultan Malik Al-saleh dan sekaligus sebagai raja pertama
pada abad ke-13. Kerajaan Samudera Pasai terletak di sebelah utara Perlak di
daerah Lhok Semawe sekarang (pantai timur Aceh).
Sebagai
sebuah kerajaan, raja silih berganti memerintah di Samudra Pasai. Raja-raja
yang pernah memerintah Samudra Pasai adalah seperti berikut.
1) Sultan
Malik Al-saleh berusaha meletakkan dasar-dasar kekuasaan Islam dan berusaha
mengembangkan kerajaannya antara lain melalui perdagangan dan memperkuat
angkatan perang. Samudra Pasai berkembang menjadi negara maritim yang kuat di
Selat Malaka.
2) Sultan
Muhammad (Sultan Malik al Tahir I) yang memerintah sejak 1297-1326. Pada masa
pemerintahannya Kerajaan Perlak kemudian disatukan dengan Kerajaan Samudra
Pasai.
3) Sultan
Malik al Tahir II (1326 - 1348 M). Raja yang bernama asli Ahmad ini sangat
teguh memegang ajaran Islam dan aktif menyiarkan Islam ke negeri-negeri
sekitarnya. Akibatnya, Samudra Pasai berkembang sebagai pusat penyebaran Islam.
Pada masa pemerintahannya, Samudra Pasai memiliki armada laut yang kuat
sehingga para pedagang merasa aman singgah dan berdagang di sekitar Samudra
Pasai. Namun, setelah muncul Kerajaan Malaka, Samudra Pasai mulai memudar. Pada
tahun 1522 Samudra Pasai diduduki oleh Portugis. Keberadaan Samudra Pasai
sebagai kerajaan maritim digantikan oleh Kerajaan Aceh yang muncul kemudian.
Catatan
lain mengenai kerajaan ini dapat diketahui dari tulisan Ibnu Battuta, seorang
pengelana dari Maroko. Menurut Battuta, pada tahun 1345, Samudera Pasai
merupakan kerajaan dagang yang makmur. Banyak pedagang dari Jawa, Cina, dan
India yang datang ke sana. Hal ini mengingat letak Samudera Pasai yang
strategis di Selat Malaka. Mata uangnya uang emas yang disebur deureuham
(dirham).
Di
bidang agama, Samudera Pasai menjadi pusat studi Islam. Kerajaan ini menyiarkan
Islam sampai ke Minangkabau, Jambi, Malaka, Jawa, bahkan ke Thailand. Dari
Kerajaan Samudra Pasai inilah kader-kader Islam dipersiapkan untuk
mengembangkan Islam ke berbagai daerah. Salah satunya ialah Fatahillah. Ia
adalah putra Pasai yang kemudian menjadi panglima di Demak kemudian menjadi
penguasa di Banten.
Kehidupan Ekonomi
Karena letak geografisnya yang
strategis, ini mendukung kreativitas mayarakat untuk terjun langsung ke dunia
maritim. Samudera pasai juga mempersiapkan bandar – bandar yang digunakan untuk
:
· Menambah
perbekalan untuk pelayaran selanjutnya
· Mengurus
soal – soal atau masalah – masalah perkapalan
· Mengumpulkan
barang – barang dagangan yang akan dikirim ke luar negeri
· Menyimpan
barang – barang dagangan sebelum diantar ke beberapa daerah di Indonesia
Tahun 1350 M merupakan masa puncak
kebesaran kerajaan Majapahit, masa itu juga merupakan masa kebesaran Kerajaan
Samudera Pasai. Kerajaan Samudera Pasai juga berhubungan langsung dengan
Kerajaan Cina sebagai siasat untuk mengamankan diri dari ancaman Kerajaan Siam
yang daerahnya meliputi Jazirah Malaka.
Perkembangan ekonomi masyarakat
Kerajaan Samudera Pasai bertambah pesat, sehingga selalu menjadi perhatian
sekaligus incaran dari kerajaan – kerajaan di sekitarnya. Setelah Samudera
Pasai dikuasai oleh Kerajaan Malaka maka pusat perdagangan dipindahkan ke
Bandar Malaka.
Kehidupan Sosial
Kehidupan sosial masyarakat Kerajaan
Samudera Pasai diatur menurut aturan – aturan dan hukum – hukum Islam. Dalam
pelaksanaannya banyak terdapat persamaan dengan kehidupan sosial masyarakat di
negeri Mesir maupun di Arab. Karena persamaan inilah sehingga daerah Aceh
mendapat julukan Daerah Serambi Mekkah.
Kehidupan Budaya
Selain
penemuan dari makam – makam Raja Samudera Pasai tidak pernah terdengar
perkembangan seni budaya dari masyarakat.
·
Kesultanan
Malaka (abad ke-14 - abad ke-17)
Parameswara
pada awalnya menjadi raja di Singapura pada tahun 1390-an. Negeri ini kemudian
diserang oleh Jawa dan Siam, yang memaksanya pinda lebih ke utara. Kronik
Dinasti Ming mencatat Parameswara telah tinggal di ibukota baru di Melaka pada
1403, tempat armada Ming yang dikirim ke selatan menemuinya. Sebagai balasan
upeti yang diberikan Kekaisaran Cina menyetujui untuk memberikan perlindungan
pada kerajaan baru tersebut.
Parameswara
kemudian menganut agama Islam setelah menikahi putri Pasai. Laporan dari
kunjungan Laksamana Cheng Ho pada 1409 menyiratkan bahwa pada saat itu
Parameswara masih berkuasa, dan raja dan rakyat Melaka sudah menjadi muslim.
Pada 1414 Parameswara digantikan putranya, Megat Iskandar Syah.
Megat
Iskandar Syah memerintah selama 10 tahun, dan digantikan oleh Muhammad Syah.
Putra Muhammad Syah yang kemudian menggantikannya, Raja Ibrahim, tampaknya tidak
menganut agama Islam, dan mengambil gelar Seri Parameswara Dewa Syah. Namun
masa pemerintahannya hanya 17 bulan, dan dia mangkat karena terbunuh pada 1445.
Saudara seayahnya, Raja Kasim, kemudian menggantikannya dengan gelar Sultan
Mudzaffar Syah.
Di
bawah pemerintahan Sultan Mudzaffar Syah Melaka melakukan ekspansi di
Semenanjung Malaya dan pantai timur Sumatera (Kampar dan Indragiri). Ini
memancing kemarahan Siam yang menganggap Melaka sebagai bawahan Kedah, yang
pada saat itu menjadi vassal Siam. Namun serangan Siam pada 1455 dan 1456 dapat
dipatahkan.
Di
bawah pemerintahan raja berikutnya yang naik tahta pada tahun 1459, Sultan
Mansur Syah, Melaka menyerbu Kedah dan Pahang, dan menjadikannya negara vassal.
Di bawah sultan yang sama Johor, Jambi dan Siak juga takluk. Dengan demikian
Melaka mengendalikan sepenuhnya kedua pesisir yang mengapit Selat Malaka.
Mansur Syah berkuasa sampai mangkatnya pada 1477. Dia digantikan oleh putranya
Alauddin Riayat Syah. Sultan memerintah selama 11 tahun, saat dia meninggal dan
digantikan oleh putranya Sultan Mahmud Syah.
Mahmud Syah memerintah Malaka sampai
tahun 1511, saat ibu kota kerajaan tersebut diserang pasukan Portugis di bawah
pimpinan Alfonso de Albuquerque. Serangan dimulai pada 10 Agustus 1511 dan
berhasil direbut pada 24 Agustus 1511. Sultan Mahmud Syah melarikan diri ke
Bintan dan mendirikan ibukota baru di sana. Pada tahun 1526 Portugis
membumihanguskan Bintan, dan Sultan kemudian melarikan diri ke Kampar, tempat
dia wafat dua tahun kemudian. Putranya Muzaffar Syah kemudian menjadi sultan
Perak, sedangkan putranya yang lain Alauddin Riayat Syah II mendirikan kerajaan
baru yaitu Johor.
Kehidupan Politik
Raja-raja/Sultan
yang pernah memerintah di Kesultanan Malaka adalah sebagai berikut:
·
Sultan Iskandar Syah (1396-1414 M)
·
Sultan Muhammad Iskandar Syah
(1414-1424 M)
·
Sultan Mudzafat Syah (1424-1458 M)
·
Sultan Mansyur Syah (1458-1477 M)
·
Sultan Alaudin Syah (1477-1488 M)
·
Sultan Mahmud Syah (1488-1511 M)
Namun,
sistem birokrasi dan feodalisme Sultan, pembesar, dan golongan bangsawan
berakibat pada melemahnya Malaka dibidang politik dan pertahanan. Mereka
menjadi lupa akan pertahanan negara. Dengan demikian, ketika bangsa Portugis
datang ke Malaka dan berambisi manaklukan kekuatan-kekuatan Islam, Malaka tidak
memiliki persiapan untuk menghadapinya. Dengan mudah kesultanan Malaka dapat
ditaklukan bangsa Portugis pada tahun 1511 M.
Kehidupan Ekonomi
Pada bidang ekonomi, Sultan dan
Pejabat Tinggi keultanan ikut terlibat, seperti terlibat dalam kegiatan dagang,
kemudian kekayaan yang diperoleh dari perdagangan tersebut digunakan untuk
membangun istana, membangun Mesjidyang indah, memelihara gundik, hidup mewah,
serta membangun dan memelihara pelabuhan. Berlakunya pajak bea-cukai yang
dikenakan pada setiap barang dan dibedakan atas asal barang. Kesultanan Malaka
memiliki Undang-undang laut yang berisi pengaturan perdagangan dan pelayaran di
kesultanan tersebut.
Kehidupan Sosial Budaya
Kehidupan
sosial kesultanan Malaka dipengaruhi oleh faktor letak, keadaan alam, dan
lingkungan wilayahnya. Agar komunikasi berjalan dengan lancar maka bahasa
melayu digunakan di Kesultanan Malaka sebagai bahasa pengantar.
Berkembangnya
seni sastra melayu yang menceritakan tentang tokoh pahlawan kerajaan, seperti
Hikayat Hang Tuah.
·
Kesultanan
Aceh (abad ke-16 - 1903)
Kerajaan
Islam berikutnya di Sumatra ialah Kerajaan Aceh. Kerajaan yang didirikan oleh
Sultan Ibrahim yang bergelar Ali Mughayat Syah (1514-1528), menjadi penting
karena mundurnya Kerajaan Samudera Pasai dan berkembangnya Kerajaan Malaka.
Para pedagang kemudian lebih sering datang ke Aceh. Pusat pemerintahan Kerajaan
Aceh ada di Kutaraja (Banda Acah sekarang). Corak pemerintahan di Aceh terdiri
atas dua sistem: pemerintahan sipil di bawah kaum bangsawan, disebut golongan
teuku; dan pemerintahan atas dasar agama di bawah kaum ulama, disebut golongan
tengku atau teungku.
Sebagai
sebuah kerajaan, Aceh mengalami masa maju dan mundur. Aceh mengalami kemajuan
pesat pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607- 1636). Pada masa
pemerintahannya, Aceh mencapai zaman keemasan. Aceh bahkan dapat menguasai
Johor, Pahang, Kedah, Perak di Semenanjung Melayu dan Indragiri, Pulau Bintan,
dan Nias. Di samping itu, Iskandar Muda juga menyusun undang-undang tata
pemerintahan yang disebut Adat Mahkota Alam. Setelah Sultan Iskandar Muda,
tidak ada lagi sultan yang mampu mengendalikan Aceh. Aceh mengalami kemunduran
di bawah pimpinan Sultan Iskandar Thani (1636- 1641). Dia kemudian digantikan
oleh permaisurinya, Putri Sri Alam Permaisuri (1641- 1675). Sejarah mencatat
Aceh makin hari makin lemah akibat pertikaian antara golongan teuku dan
teungku, serta antara golongan aliran syiah dan sunnah sal jama’ah. Akhirnya,
Belanda berhasil menguasai Aceh pada tahun 1904.
Kehidupan Sosial Budaya
a. Agama
Dalam
sejarah nasional Indonesia, Aceh sering disebut sebagai Negeri Serambi Mekah,
karena Islam masuk pertama kali ke Indonesia melalui kawasan paling barat pulau
Sumatera ini. Sesuai dengan namanya, Serambi Mekah, orang Aceh mayoritas
beragama Islam dan kehidupan mereka sehari-hari sangat dipengaruhi oleh ajaran
Islam ini. Oleh sebab itu, para ulama merupakan salah satu sendi kehidupan
masyarakat Aceh. Selain dalam keluarga, pusat penyebaran dan pendidikan agama
Islam berlangsung di dayah dan rangkang (sekolah agama). Guru yang memimpin
pendidikan dan pengajaran di dayah disebut dengan teungku. Jika ilmunya sudah
cukup dalam, maka para teungku tersebut mendapat gelar baru sebagai Teungku
Chiek. Di kampung-kampung, urusan keagamaan masyarakat dipimpin oleh seseorang
yang disebut dengan tengku meunasah.
Pengaruh
Islam yang sangat kuat juga tampak dalam aspek bahasa dan sastra Aceh.
Manuskrip-manuskrip terkenal peninggalan Islam di Nusantara banyak di antaranya
yang berasal dari Aceh, seperti Bustanussalatin dan Tibyan fi Ma‘rifatil Adyan
karangan Nuruddin ar-Raniri pada awal abad ke-17; kitab Tarjuman al-Mustafid
yang merupakan tafsir Al Quran Melayu pertama karya Shaikh Abdurrauf Singkel
tahun 1670-an; dan Tajussalatin karya Hamzah Fansuri. Peninggalan manuskrip
tersebut merupakan bukti bahwa, Aceh sangat berperan dalam pembentukan tradisi
intelektual Islam di Nusantara. Karya sastra lainnya, seperti Hikayat Prang
Sabi, Hikayat Malem Diwa, Syair Hamzah Fansuri, Hikayat Raja-Raja Pasai,
Sejarah Melayu, merupakan bukti lain kuatnya pengaruh Islam dalam kehidupan
masyarakat Aceh.
b. Struktur sosial
Lapisan
sosial masyarakat Aceh berbasis pada jabatan struktural, kualitas keagamaan dan
kepemilikan harta benda. Mereka yang menduduki jabatan struktural di kerajaan
menduduki lapisan sosial tersendiri, lapisan teratasnya adalah sultan,
dibawahnya ada para penguasa daerah. Sedangkan lapisan berbasis keagamaan
merupakan lapisan yang merujuk pada status dan peran yang dimainkan oleh
seseorang dalam kehidupan keagamaan. Dalam lapisan ini, juga terdapat kelompok
yang mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad. Mereka ini menempati posisi
istimewa dalam kehidupan sehari-hari, yang laki-laki bergelar Sayyed, dan yang
perempuan bergelar Syarifah. Lapisan sosial lainnya dan memegang peranan sangat
penting adalah para orang kaya yang menguasai perdagangan, saat itu
komoditasnya adalah rempah-rempah, dan yang terpenting adalah lada.
c.
Kehidupan sehari-hari
Sebagai
tempat tinggal sehari-hari, orang Aceh membangun rumah yang sering disebut juga
dengan rumoh Aceh. Untuk mencukupi kebutuhan hidup, mereka bercocok tanam di
lahan yang memang tersedia luas di Aceh. Bagi yang tinggal di kawasan kota
pesisir, banyak juga yang berprofesi sebagai pedagang. Senjata tradisional
orang Aceh yang paling terkenal adalah rencong, bentuknya menyerupai huruf L,
dan bila dilihat dari dekat menyerupai tulisan kaligrafi bismillah. Senjata
khas lainnya adalah Sikin Panyang, Klewang dan Peudeung oon Teubee. Dalam
bidang sosial, letaknya yang strategis di titik sentral jalur perdagangan
internasional di Selat Malaka menjadikan Aceh makin ramai dikunjungi pedangang
Islam.
Terjadilah
asimilasi baik di bidang sosial maupun ekonomi. Dalam kehidupan bermasyarakat,
terjadi perpaduan antara adat istiadat dan ajaran agama Islam. Pada sekitar
abad ke-16 dan 17 terdapat empat orang ahli tasawuf di Aceh, yaitu Hamzah
Fansuri, Syamsuddin as-Sumtrani, Nuruddin ar-Raniri, dan Abdurrauf dari
Singkil. Keempat ulama ini sangat berpengaruh bukan hanya di Aceh tetapi juga
sampai ke Jawa.
Kehidupan ekonomi
Aceh
berkembang dengan pesat pada masa kejayaannya. Dengan menguasai daerah pantai
barat dan timur Sumatra, Aceh menjadi kerajaan yang kaya akan sumber daya alam,
seperti beras, emas, perak dan timah serta rempah-rempah.
Kerajaan Islam di Jawa
·
Kesultanan
Demak (1500 - 1550) dan Kesultanan Pajang (1568 - 1618)
Demak
adalah kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Kerajaan yang didirikan oleh Raden
Patah ini pada awalnya adalah sebuah wilayah dengan nama Glagah atau Bintoro
yang berada di bawah kekuasaan Majapahit. Majapahit mengalami kemunduran pada
akhir abad ke-15. Kemunduran ini memberi peluang bagi Demak untuk berkembang
menjadi kota besar dan pusat perdagangan. Dengan bantuan para ulama Walisongo,
Demak berkembang menjadi pusat penyebaran agama Islam di Jawa dan wilayah timur
Nusantara.
Sebagai
kerajaan, Demak diperintah silih berganti oleh raja-raja. Demak didirikan oleh
Raden Patah (1500-1518) yang bergelar Sultan Alam Akhbar al Fatah. Raden Patah
sebenarnya adalah Pangeran Jimbun, putra raja Majapahit. Pada masa
pemerintahannya, Demak berkembang pesat. Daerah kekuasaannya meliputi daerah
Demak sendiri, Semarang, Tegal, Jepara dan sekitarnya, dan cukup berpengaruh di
Palembang dan Jambi di Sumatera, serta beberapa wilayah di Kalimantan. Karena
memiliki bandar-bandar penting seperti Jepara, Tuban, Sedayu, Gresik, Raden
Patah memperkuat armada lautnya sehingga Demak berkembang menjadi negara
maritim yang kuat. Dengan kekuatannya itu, Demak mencoba menyerang Portugis
yang pada saat itu menguasai Malaka. Demak membantu Malaka karena kepentingan
Demak turut terganggu dengan hadirnya Portugis di Malaka. Namun, serangan itu gagal.
Raden
Patah kemudian digantikan oleh Adipati Unus (1518-1521). Walau ia tidak
memerintah lama, tetapi namanya cukup terkenal sebagai panglima perang yang
berani. Ia berusaha membendung pengaruh Portugis jangan sampai meluas ke Jawa.
Karena mati muda, Adipati Unus kemudian digantikan oleh adiknya, Sultan
Trenggono (1521-1546). Di bawah pemerintahannya, Demak mengalami masa kejayaan.
Trenggono berhasil membawa Demak memperluas wilayah kekuasaannya. Pada tahun
1522, pasukan Demak di bawah pimpinan Fatahillah menyerang Banten, Sunda
Kelapa, dan Cirebon. Baru pada tahun 1527, Sunda Kelapa berhasil direbut. Dalam
penyerangan ke Pasuruan pada tahun 1546, Sultan Trenggono gugur.
Sepeninggal
Sultan Trenggono, Demak mengalami kemunduran. Terjadi perebutan kekuasaan
antara Pangeran Sekar Sedolepen, saudara Sultan Trenggono yang seharusnya
menjadi raja dan Sunan Prawoto, putra sulung Sultan Trenggono. Sunan Prawoto
kemudian dikalahkan oleh Arya Penangsang, anak Pengeran Sekar Sedolepen. Namun,
Arya Penangsang pun kemudian dibunuh oleh Joko Tingkir, menantu Sultan
Trenggono yang menjadi Adipati di Pajang. Joko Tingkir (1549-1587) yang
kemudian bergelar Sultan Hadiwijaya memindahkan pusat Kerajaan Demak ke Pajang.
Kerajaannya
kemudian dikenal dengan nama Kerajaan Pajang. Sultan Hadiwijaya kemudian
membalas jasa para pembantunya yang telah berjasa dalam pertempuran melawan
Arya Penangsang. Mereka adalah Ki Ageng Pemanahan menerima hadiah berupa tanah
di daerah Mataram (Alas Mentaok), Ki Penjawi dihadiahi wilayah di daerah Pati,
dan keduanya sekaligus diangkat sebagai bupati di daerahnya masing-masing.
Bupati Surabaya yang banyak berjasa menundukkan daerah-daerah di Jawa Timur
diangkat sebagai wakil raja dengan daerah kekuasaan Sedayu, Gresik, Surabaya,
dan Panarukan.
Ketika
Sultan Hadiwijaya meninggal, beliau digantikan oleh putranya Sultan Benowo.
Pada masa pemerintahannya, Arya Pangiri, anak dari Sultan Prawoto melakukan
pemberontakan. Namun, pemberontakan tersebut dapat dipadamkan oleh Pangeran
Benowo dengan bantuan Sutawijaya, anak angkat Sultan Hadiwijaya. Tahta Kerajaan
Pajang kemudian diserahkan Pangeran Benowo kepada Sutawijaya. Sutawijaya
kemudian memindahkan pusat Kerajaan Pajang ke Mataram. Di bidang keagamaan,
Raden Patah dan dibantu para wali, Demak tampil sebagai pusat penyebaran Islam.
Raden Patah kemudian membangun sebuah masjid yang megah, yaitu Masjid Demak.
Kehidupan Ekonomi
Demak
merupakan pelabuhan transito (penghubung) yang penting. Sebagai pusat
perdagangan Demak memiliki pelabuhan-pelabuhan penting, seperti Jepara, Tuban,
Sedayu, Gresik. Bandar-bandar tersebut menjadi penghubung daerah penghasil
rempah-rempah dan pembelinya. Demak juga memiliki penghasilan besar dari hasil
pertaniannya yang cukup besar. Akibatnya, perekonomian Demak berkembang degan pesat.
· Kesultanan Banten (1524 - 1813)
Kerajaan
yang terletak di barat Pulau Jawa ini pada awalnya merupakan bagian dari
Kerajaan Demak. Banten direbut oleh pasukan Demak di bawah pimpinan Fatahillah.
Fatahillah adalah menantu dari Syarif Hidayatullah. Syarif Hidayatullah adalah
salah seorang wali yang diberi kekuasaan oleh Kerajaan Demak untuk memerintah
di Cirebon. Syarif Hidayatullah memiliki 2 putra laki-laki, pangeran Pasarean
dan Pangeran Sabakingkin. Pangeran Pasareaan berkuasa di Cirebon. Pada tahun
1522, Pangeran Saba Kingkin yang kemudian lebih dikenal dengan nama Hasanuddin
diangkat menjadi Raja Banten.
Setelah
Kerajaan Demak mengalami kemunduran, Banten kemudian melepaskan diri dari
Demak. Berdirilah Kerajaan Banten dengan rajanya Sultan Hasanudin (1522- 1570).
Pada masa pemerintahannya, pengaruh Banten sampai ke Lampung. Artinya,
Bantenlah yang menguasai jalur perdagangan di Selat Sunda. Para pedagang dari
Cina, Persia, Gujarat, Turki banyak yang mendatangi bandar-bandar di Banten. Kerajaan
Banten berkembang menjadi pusat perdagangan selain karena letaknya sangat
strategis, Banten juga didukung oleh beberapa faktor di antaranya jatuhnya
Malaka ke tangan Portugis (1511) sehingga para pedagang muslim berpindah jalur
pelayarannya melalui Selat Sunda. Faktor lainnya, Banten merupakan penghasil
lada dan beras, komoditi yang laku di pasaran dunia.
Sultan
Hasanudin kemudian digantikan putranya, Pangeran Yusuf (1570-1580). Pada masa pemerintahannya,
Banten berhasil merebut Pajajaran dan Pakuan. Pangeran Yusuf kemudian
digantikan oleh Maulana Muhammad. Raja yang bergelar Kanjeng Ratu Banten ini
baru berusia sembilan tahun ketika diangkat menjadi raja. Oleh sebab itu, dalam
menjalankan roda pemerintahan, Maulana Muhammad dibantu oleh Mangkubumi. Dalam
tahun 1595, dia memimpin ekspedisi menyerang Palembang. Dalam pertempuran itu,
Maulana Muhammad gugur. Maulana Muhammad kemudian digantikan oleh putranya
Abu’lmufakhir yang baru berusia lima bulan. Dalam menjalankan roda
pemerintahan, Abu’lmufakhir dibantu oleh Jayanegara. Abu’lmufakhir kemudian
digantikan oleh Abu’ma’ali Ahmad Rahmatullah. Abu’ma’ali Ahmad Rahmatullah
kemudian digantikan oleh Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1692).
Sultan
Ageng Tirtayasa menjadikan Banten sebagai sebuah kerajaan yang maju dengan
pesat. Untuk membantunya, Sultan Ageng Tirtayasa pada tahun 1671 mengangkat
purtanya, Sultan Abdulkahar, sebagi raja pembantu. Namun, sultan yang bergelar
Sultan Haji berhubungan dengan Belanda. Sultan Ageng Tirtayasa yang tidak
menyukai hal itu berusaha mengambil alih kontrol pemerintahan, tetapi tidak
berhasil karena Sultan Haji didukung Belanda. Akhirnya, pecahlah perang
saudara. Sultan Ageng Tirtayasa tertangkap dan dipenjarakan. Dengan demikian,
lambat laun Banten mengalami kemunduran karena tersisih oleh Batavia yang
berada di bawah kekuasaan Belanda.
Kehidupan Ekonomi
Kerajaan Banten yang letaknya di
ujung barat Pulau Jawa dan di tepi Selat Sunda merupakan daerah yang strategis
karena merupakan jalur lalu-lintas pelayaran dan perdagangan khususnya setelah
Malaka jatuh tahun 1511, menjadikan Banten sebagai pelabuhan yang ramai
dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai bangsa. Pelabuhan Banten juga cukup
aman, sebab terletak di sebuah teluk yang terlindungi oleh Pulau Panjang, dan
di samping itu Banten juga merupakan daerah penghasil bahan ekspor seperti
lada.
Selain
perdagangan kerajaan Banten juga meningkatkan kegiatan pertanian, dengan
memperluas areal sawah dan ladang serta membangun bendungan dan irigasi.
Kemudian membangun terusan untuk memperlancar arus pengiriman barang dari
pedalaman ke pelabuhan. Dengan demikian kehidupan ekonomi kerajaan Banten terus
berkembang baik yang berada di pesisir maupun di pedalaman.
Kehidupan Sosial Budaya
Kehidupan masyarakat Banten yang
berkecimpung dalam dunia pelayaran, perdagangan dan pertanian mengakibatkan
masyarakat Banten berjiwa bebas, bersifat terbuka karena bergaul dengan
pedagang-pedagang lain dari berbagai bangsa. Para pedagang lain tersebut banyak
yang menetap dan mendirikan perkampungan di Banten, seperti perkampungan
Keling, perkampungan Pekoyan (Arab), perkampungan Pecinan (Cina) dan
sebagainya. Di samping perkampungan seperti tersebut di atas, ada perkampungan
yang dibentuk berdasarkan pekerjaan seperti Kampung Pande (para pandai besi),
Kampung Panjunan (pembuat pecah belah) dan kampung Kauman (para ulama).
Dalam bidang kebudayaan : kerajaan
Bnaten pernah inggal seorang Syeikh yang bernama Syeikh Yusuf Makassar
(1627-1699), ia sahabat dari Sultan Agung Tirtayasa, juga Kadhi di Kerajaan
Banten yang menulis 23 buku. Selain itu di Banten pada akhir masa kesultanan
lahir seorang ulama besar yaitu Muhammad Nawawi Al-bantani pernah menjadi Imam
besar di Masjidil Haram. Ia wafat dan dimakamkan di Makkah, sedikitnya ia telah
menulis 99 kitab dalam bidang Tafsir, Hadits, Sejarah, Hukum, tauhid dan
lain-lain. Melihat kajiannya yang beragam menunjukkan ia seorang yang luas
wawasannya. Salah satu contoh wujud akulturasi tampak pada bangunan Masjid
Agung Banten, yang memperlihatkan wujud akulturasi antara kebudayaan Indonesia,
Hindu, Islam di Eropa. Untuk lebih jelasnya, silahkan Anda amati bentuk Masjid
Agung Banten seperti yang tampak pada gambar 11 berikut ini.
Gambar 1. Masjid Agung Banten.
Bahwa
arsitek Masjid Agung Banten tersebut adalah Jan Lucas Cardeel, seorang pelarian
Belanda yang beragama Islam. Kepandaiannya dalam bidang bangunan dimanfaatkan
oleh Sultan Ageng Tirtayasa untuk mendirikan bangunan-bangunan gaya Belanda
(Eropa) seperti benteng kota Inten, pesanggrahan Tirtayasa dan bangunan
Madrasah.
·
Kesultanan
Mataram (1586 - 1755)
Sutawijaya
yang mendapat limpahan Kerajaan Pajang dari Sutan Benowo kemudian memindahkan
pusat pemerintahan ke daerah kekuasaan ayahnya, Ki Ageng Pemanahan, di Mataram.
Sutawijaya kemudian menjadi raja Kerajaan Mataram dengan gelar Panembahan
Senopati Ing Alaga Sayidin Panatagama.
Pemerintahan
Panembahan Senopati (1586-1601) tidak berjalan dengan mulus karena diwarnai
oleh pemberontakan-pemberontakan. Kerajaan yang berpusat di Kotagede (sebelah
tenggara kota Yogyakarta sekarang) ini selalu terjadi perang untuk menundukkan
para bupati yang ingin melepaskan diri dari kekuasaan Mataram, seperti Bupati Ponorogo,
Madiun, Kediri, Pasuruan bahkan Demak. Namun, semua daerah itu dapat
ditundukkan. Daerah yang terakhir dikuasainya ialah Surabaya dengan bantuan
Sunan Giri.
Setelah
Senopati wafat, putranya Mas Jolang (1601-1613) naik tahta dan bergelar Sultan
Anyakrawati. Dia berhasil menguasai Kertosono, Kediri, dan Mojoagung. Ia wafat
dalam pertempuran di daerah Krapyak sehingga kemudian dikenal dengan Pangeran
Sedo Krapyak. Mas Jolang kemudian digantikan oleh Mas Rangsang (1613-1645).
Raja Mataram yang bergelar Sultan Agung Senopati ing Alogo Ngabdurracham ini
kemudian lebih dikenal dengan nama Sultan Agung. Pada masa pemerintahannya,
Mataram mencapai masa keemasan. Pusat pemerintahan dipindahkan ke Plered.
Wilayah kekuasaannya meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian Jawa Barat.
Sultan Agung bercita-cita mempersatukan Jawa. Karena merasa sebagai penerus
Kerajaan Demak, Sultan Agung menganggap Banten adalah bagian dari Kerajaan
Mataram. Namun, Banten tidak mau tunduk kepada Mataram. Sultan Agung kemudian
berniat untuk merebut Banten.
Namun,
niatnya itu terhambat karena ada VOC yang menguasai Sunda Kelapa. VOC juga
tidak menyukai Mataram. Akibatnya, Sultan Agung harus berhadapan dulu dengan
VOC. Sultan Agung dua kali berusaha menyerang VOC: tahun 1628 dan 1629.
Penyerangan tersebut tidak berhasil, tetapi dapat membendung pengaruh VOC di
Jawa. Sultan Agung membagi sistem pemerintahan Kerajaan Mataram seperti
berikut.
(1) Kutanegara,
daerah pusat keraton. Pelaksanaan pemerintahan dipegang oleh Patih Lebet (Patih
Dalam) yang dibantu Wedana Lebet (Wedana Dalam).
(2) Negara Agung,
daerah sekitar Kutanegara. Pelaksanaan pemerintahan dipegang Patih Jawi (Patih
Luar) yang dibantu Wedana Jawi (Wedana Luar).
(3) Mancanegara,
daerah di luar Negara Agung. Pelaksanaan pemerintahan dipegang oleh para
Bupati.
(4) Pesisir, daerah
pesisir. Pelaksanaan pemerintahan dipegang oleh para Bupati atau syahbandar.
Sultan
Agung wafat pada tahun 1645 dan digantikan oleh Amangkurat I (1645-1677).
Amangkurat I menjalin hubungan dengan Belanda. Pada masa pemerintahannya.
Mataram diserang oleh Trunojaya dari Madura, tetapi dapat digagalkan karena
dibantu Belanda. Amangkurat I kemudian digantikan oleh Amangkurat II (1677-1703).
Pada masa pemerintahannya, wilayah Kerajaan Mataram makin menyempit karena
diambil oleh Belanda.
Setelah
Amangkurat II, raja-raja yang memerintah Mataram sudah tidak lagi berkuasa
penuh karena pengaruh Belanda yang sangat kuat. Bahkan pada tahun 1755, Mataram
terpecah menjadi dua akibat Perjanjian Giyanti: Ngayogyakarta Hadiningrat
(Kesultanan Yogyakarta) yang berpusat di Yogyakarta dengan raja Mangkubumi yang
bergelar Hamengku Buwono I dan Kesuhunan Surakarta yang berpusat di Surakarta
dengan raja Susuhunan Pakubuwono III. Dengan demikian, berakhirlah Kerajaan
Mataram.
Kehidupan sosial ekonomi
Kehidupan
sosial ekonomi Mataram cukup maju. Sebagai kerajaan besar, Mataram maju hampir
dalam segala bidang, pertanian, agama, budaya. Pada zaman Kerajaan Majapahit,
muncul kebudayaan Kejawen, gabungan antara kebudayaan asli Jawa, Hindu, Buddha,
dan Islam, misalnya upacara Grebeg, Sekaten. Karya kesusastraan yang terkenal
adalah Sastra Gading karya Sultan Agung. Pada tahun 1633, Sultan Agung
mengganti perhitungan tahun Hindu yang berdasarkan perhitungan matahari dengan
tahun Islam yang berdasarkan perhitungan bulan.
·
Kesultanan
Cirebon (sekitar abad ke-16)
Kerajaan
yang terletak di perbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah didirikan oleh
salah seorang anggota Walisongo, Sunan Gunung Jati dengan gelar Syarif
Hidayatullah. Syarif Hidayatullah membawa kemajuan bagi Cirebon. Ketika Demak
mengirimkan pasukannya di bawah Fatahilah (Faletehan) untuk menyerang Portugis
di Sunda Kelapa, Syarif Hidayatullah memberikan bantuan sepenuhnya. Bahkan pada
tahun 1524, Fatahillah diambil menantu oleh Syarif Hidayatullah. Setelah
Fatahillah berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa, Syarif Hidayatullah
meminta Fatahillah untuk menjadi Bupati di Jayakarta. Syarif Hidayatullah
kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Pangeran Pasarean. Inilah raja
yang menurunkan raja-raja Cirebon selanjutnya. Pada tahun 1679, Cirebon
terpaksa dibagi dua, yaitu Kasepuhan dan Kanoman. Dengan politik de vide at
impera yang dilancarkan Belanda yang pada saat itu sudah berpengaruh di
Cirebon, kasultanan Kanoman dibagi dua menjadi Kasultanan Kanoman dan
Kacirebonan. Dengan demikian, kekuasaan Cirebon terbagi menjadi 3, yakni
Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan. Cirebon berhasil dikuasai VOC pada akhir
abad ke-17.
Kerajaan Islam di Maluku
· Kesultanan Ternate (1257 - ..... ) dan Kesultanan Tidore
(1110 - 1947?)
Ternate
merupakan kerajaan Islam di timur yang berdiri pada abad ke-13 dengan raja
Zainal Abidin (1486-1500). Zainal Abidin adalah murid dari Sunan Giri di
Kerajaan Demak. Kerajaan Tidore berdiri di pulau lainnya dengan Sultan Mansur
sebagai raja.
Kerajaan
yang terletak di Indonesia Timur menjadi incaran para pedagang karena Maluku
kaya akan rempah-rempah. Kerajaan Ternate cepat berkembang berkat hasil
rempah-rempah terutama cengkih. Ternate dan Tidore hidup berdampingan secara
damai. Namun, kedamaian itu tidak berlangsung selamanya. Setelah Portugis dan
Spanyol datang ke Maluku, kedua kerajaan berhasil diadu domba. Akibatnya,
antara kedua kerajaan tersebut terjadi persaingan. Portugis yang masuk Maluku
pada tahun 1512 menjadikan Ternate sebagai sekutunya dengan membangun benteng
Sao Paulo. Spanyol yang masuk Maluku pada tahun 1521 menjadikan Tidore sebagai
sekutunya.
Dengan
berkuasanya kedua bangsa Eropa itu di Tidore dan Ternate, terjadi pertikaian
terus-menerus. Hal itu terjadi karena kedua bangsa itu sama-sama ingin
memonopoli hasil bumi dari kedua kerajaan tersebut. Di lain pihak, ternyata
bangsa Eropa itu bukan hanya berdagang tetapi juga berusaha menyebarkan ajaran
agama mereka. Penyebaran agama ini mendapat tantangan dari Raja Ternate, Sultan
Khairun (1550-1570). Ketika diajak berunding oleh Belanda di benteng Sao Paulo,
Sultan Khairun dibunuh oleh Portugis.
Setelah
sadar bahwa mereka diadu domba, hubungan kedua kerajaan membaik kembali. Sultan
Khairun kemudian digantikan oleh Sultan Baabullah (1570-1583). Pada masa
pemerintahannya, Portugis berhasil diusir dari Ternate. Keberhasilan itu tidak
terlepas dari bantuan Sultan Tidore. Sultan Khairun juga berhasil memperluas
daerah kekuasaan Ternate sampai ke Filipina.
Sementara
itu, Kerajaan Tidore mengalami kemajuan pada masa pemerintahan Sultan Nuku.
Sultan Nuku berhasil memperluas pengaruh Tidore sampai ke Halmahera, Seram,
bahkan Kai di selatan dan Misol di Irian. Dengan masuknya Spanyol dan Portugis
ke Maluku, kehidupan beragama dan bermasyarakat di Maluku jadi beragam: ada
Katolik, Protestan, dan Islam. Pengaruh Islam sangat terasa di Ternate dan
Tidore. Pengaruh Protestan sangat terasa di Maluku bagian tengah dan pengaruh
Katolik sangat terasa di sekitar Maluku bagian selatan. Maluku adalah daerah
penghasil rempah-rempah yang sangat terkenal bahkan sampai ke Eropa. Itulah
komoditi yang menarik orang-orang Eropa dan Asia datang ke Nusantara. Para
pedagang itu membawa barang-barangnya dan menukarkannya dengan rempah-rempah.
Proses perdagangan ini pada awalnya menguntungkan masyarakat setempat. Namun,
dengan berlakunya politik monopoli perdagangan, terjadi kemunduran di berbagai
bidang, termasuk kesejahteraan masyarakat.
Kehidupan Politik
Di
kepulauan maluku terdapat kerajaan kecil, diantaranya kerajaan ternate sebagai
pemimpin Uli Lima yaitu persekutuan lima bersaudara. Uli Siwa yang berarti
persekutuan sembilan bersaudara. Ketika bangsa portugis masuk, portugis
langsung memihak dan membantu ternate, hal ini dikarenakan portugis mengira
ternate lebih kuat. Begitu pula bangsa spanyol memihak tidore akhirnya
terjadilah peperangan antara dua bangsa kulit, untuk menyelesaikan, Paus turun
tangan dan menciptakan perjanjian saragosa. Dalam perjanjian tersebut bangsa
spanyol harus meninggalkan maluku dan pindah ke Filipina, sedangkan Portugis
tetap berada di maluku.
o Sultan
Hairun
Untuk
dapat memperkuat kedudukannya, portugis mendirikan sebuah benteng yang di beri
nama Benteng Santo Paulo. Namun tindakan portugis semakin lama di benci oleh
rakyat dan para penjabat kerajaan ternate. Oleh karena itu sultan hairun secara
terang-terangan menentang politik monopoli dari bangsa portugis.
·
Sultan Baabullah
Sultan
baabullah (Putra Sultan Hairun) bangkit menentang portugis. Tahun 1575 M
Portugis dapat dikalahkan dan meninggalkan benteng.
Kehidupan Ekonomi
Tanah
di Kepulauan maluku itu subur dan diliputi hutan rimba yang banyak memberikan
hasil diantaranya cengkeh dan di kepulauan Banda banyak menghasilkan pala. Pada
abad ke 12 M permintaan rempah-rempah meningkat, sehingga cengkeh merupakan
komoditi yang penting. Pesatnya perkembangan perdagangan keluar dari maluku
mengakibatkan terbentuknya persekutuan. Selain itu mata pencaharian perikanan
turut mendukung perekonomian masyarakat.
Kehidupan Sosial
Kedatangan
bangsa portugis di kepulauan Maluku bertujuan untuk menjalin perdagangan dan
mendapatkan rempah-rempah. Bangsa Portugis juga ingin mengembangkan agama
katholik. Dalam 1534 M, agama Katholik telah mempunyai pijakan yang kuat di
Halmahera, Ternate, dan Ambon, berkat kegiatan Fransiskus Xaverius.
Seperti
sudah diketahui, bahwa sebagian dari daerah maluku terutama Ternate sebagai
pusatnya, sudah masuk agama islam. Oleh karena itu, tidak jarang perbedaan
agama ini dimanfaatkan oleh orang-orang Portugis untuk memancing pertentangan
antara para pemeluk agama itu. Dan bila pertentangan sudah terjadi maka pertentangan
akan diperuncing lagi dengan campur tangannya orang-orang Portugis dalam bidang
pemerintahan, sehingga seakan-akan merekalah yang berkuasa.
Setelah
masuknya kompeni Belanda di Maluku, semua orang yang sudah memeluk agama
Katholik harus berganti agama menjadi Protestan. Hal ini menimbulkan
masalah-masalah sosial yang sangat besar dalam kehidupan rakyat dan semakin
tertekannya kehidupan rakyat. Keadaan ini menimbulkan amarah yang luar biasa
dari rakyat Maluku kepada kompeni Belanda. Di Bawah pimpinan Sultan Ternate,
perang umum berkobar, namun perlawanan tersebut dapat dipadamkan oleh kompeni
Belanda. Kehidupan rakyat Maluku pada zaman kompeni Belanda sangat
memprihatinkan sehingga muncul gerakan menentang Kompeni Belanda.
Kehidupan Budaya
Rakyat
Maluku, yang didominasi oleh aktivitas perekonomian tampaknya tidak begitu
banyak mempunyai kesempatan untuk menghasilkan karya-karya dalam bentuk
kebudayaan. Jenis-jenis kebudayaan rakyat Maluku tidak begitu banyak kita
ketahui sejak dari zaman berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam seperti Ternate
dan Tidore.
Kerajaan Islam di Sulawesi
·
Kesultanan
Gowa (awal abad ke-16 - 1667?)
Kerajaan
yang terletak di Sulawesi Selatan sebenarnya terdiri atas dua kerjaan: Gowa dan
Tallo. Kedua kerajaan ini kemudian bersatu. Raja Gowa, Daeng Manrabia, menjadi
raja bergelar Sultan Alauddin dan Raja Tallo, Karaeng Mantoaya, menjadi perdana
menteri bergelar Sultan Abdullah. Karena pusat pemerintahannya terdapat di
Makassar, Kerajaan Gowa dan Tallo sering disebut sebagai Kerajaan Makassar.
Karena
posisinya yang strategis di antara wilayah barat dan timur Nusantara, Kerajaan
Gowa dan Tallo menjadi bandar utama untuk memasuki Indonesia Timur yang kaya
rempah-rempah. Kerajaan Makassar memiliki pelaut-pelaut yang tangguh terutama
dari daerah Bugis. Mereka inilah yang memperkuat barisan pertahanan laut
Makassar. Raja yang terkenal dari kerajaan ini ialah Sultan Hasanuddin
(1653-1669). Hasanuddin berhasil memperluas wilayah kekuasaan Makassar baik ke
atas sampai ke Sumbawa dan sebagian Flores di selatan. Karena merupakan bandar
utama untuk memasuki Indonesia Timur, Hasanuddin bercita-cita menjadikan
Makassar sebagai pusat kegiatan perdagangan di Indonesia bagian Timur. Hal ini
merupakan ancaman bagi Belanda sehingga sering terjadi pertempuran dan
perampokan terhadap armada Belanda. Belanda kemudian menyerang Makassar dengan
bantuan Aru Palaka, raja Bone. Belanda berhasil memaksa Hasanuddin, Si Ayam
Jantan dari Timur itu menyepakati Perjanjian Bongaya pada tahun 1667. Isi perjanjian
itu ialah: Belanda mendapat monopoli dagang di Makassar, Belanda boleh
mendirikan benteng di Makassar, Makassar harus melepaskan jajahannya, dan Aru
Palaka harus diakui sebagai Raja Bone.
Sultan
Hasanuddin kemudian digantikan oleh Mapasomba. Namun, Mapasomba tidak berkuasa
lama karena Makassar kemudian dikuasai Belanda, bahkan seluruh Sulawesi
Selatan. Tata kehidupan yang tumbuh di Makassar dipengaruhi oleh hukum Islam.
Kehidupan ekonomi
Kehidupan
perekonomiannya berdasarkan pada ekonomi maritim: perdagangan dan pelayaran.
Sulawesi Selatan sendiri merupakan daerah pertanian yang subur. Daerah-daerah
taklukkannya di tenggara seperti Selayar dan Buton serta di selatan seperti
Lombok, Sumbawa, dan Flores juga merupakan daerah yang kaya dengan sumber daya
alam. Semua itu membuat Makassar mampu memenuhi semua kebutuhannya bahkan mampu
mengekspor.
Karena
memiliki pelaut-pelaut yang tangguh dan terletak di pintu masuk jalur
perdagangan Indonesia Timur, disusunlah Ade’Allapialing Bicarana Pabbalri’e,
sebuah tata hukum niaga dan perniagaan dan sebuah naskah lontar yang ditulis
oleh Amanna Gappa.
·
Kesultanan
Buton (1332 - 1911)
Mpu
Prapanca juga menyebut nama Pulau Buton di dalam bukunya, Negara Kartagama.
Sejarah yang umum diketahui orang, bahwa Kerajaan Bone di Sulawesi lebih dulu
menerima agama Islam yang dibawa oleh Datuk ri Bandang yang berasal dari
Minangkabau sekitar tahun 1605 M. Sebenarnya Sayid Jamaluddin al-Kubra lebih dulu
sampai di Pulau Buton, yaitu pada tahun 815 H/1412 M. Ulama tersebut diundang
oleh Raja Mulae Sangia i-Gola dan baginda langsung memeluk agama Islam. Lebih
kurang seratus tahun kemudian, dilanjutkan oleh Syeikh Abdul Wahid bin Syarif
Sulaiman al-Fathani yang dikatakan datang dari Johor. Ia berhasil mengislamkan
Raja Buton yang ke-6 sekitar tahun 948 H/ 1538 M.
Riwayat
lain mengatakan tahun 1564 M. Walau bagaimana pun masih banyak pertikaian
pendapat mengenai tahun kedatangan Syeikh Abdul Wahid di Buton. Oleh itu dalam
artikel ini dirasakan perlu dikemukakan beberapa perbandingan. Dalam masa yang
sama dengan kedatangan Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al- Fathani,
diriwayatkan bahwa di Callasusung (Kalensusu), salah sebuah daerah kekuasaan
Kerajaan Buton, didapati semua penduduknya beragama Islam.
Selain
pendapat yang menyebut bahwa Islam datang di Buton berasal dari Johor, ada pula
pendapat yang menyebut bahwa Islam datang di Buton berasal dari Ternate.
Dipercayai orang-orang Melayu dari berbagai daerah telah lama sampai di Pulau
Buton. Mengenainya dapat dibuktikan bahwa walau pun Bahasa yang digunakan dalam
Kerajaan Buton ialah bahasa Wolio, namun dalam masa yang sama digunakan Bahasa
Melayu, terutama bahasa Melayu yang dipakai di Malaka, Johor dan Patani.
Orang-orang Melayu tinggal di Pulau Buton, sebaliknya orang-orang Buton pula
termasuk kaum yang pandai belayar seperti orang Bugis juga. Orang-orang Buton
sejak lama merantau ke seluruh pelosok dunia Melayu dengan menggunakan perahu
berukuran kecil yang hanya dapat menampung lima orang, hingga perahu besar yang
dapat memuat barang sekitar 150 ton.
Kerajaan Buton secara resminya
menjadi sebuah kerajaan Islam pada masa pemerintahan Raja Buton ke-6, iaitu
Timbang Timbangan atau Lakilaponto atau Halu Oleo. Bagindalah yang diislamkan
oleh Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani yang datang dari Johor.
Menurut beberapa riwayat bahwa Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman
al-Fathani sebelum sampai di Buton pernah tinggal di Johor. Selanjutnya bersama
isterinya pindah ke Adonara (Nusa Tenggara Timur). Kemudian beliau sekeluarga
berhijrah pula ke Pulau Batu atas yang termasuk dalam pemerintahan Buton.
Gambar
2. Sultan Buton ke 38, Muhamad Falihi
Kaimuddin bersama Presiden RI Pertama Soekarno
Di
Pulau Batu atas, Buton, Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani
bertemu Imam Pasai yang kembali dari Maluku menuju Pasai (Aceh). Imam Pasai
menganjurkan Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani pergi ke Pulau
Buton, menghadap Raja Buton. Syeikh Abdul Wahid setuju dengan anjuran yang baik
itu. Setelah Raja Buton memeluk Islam, Baginda langsung ditabalkan menjadi
Sultan Buton oleh Syeikh Abdul Wahid pada tahun 948 H/1538 M.
Walau bagaimanapun. Mengenai tahun
tersebut, masih dipertikaikan karena daripada sumber yang lain disebutkan
bahawa Syeikh Abdul Wahid merantau dari Patani-Johor ke Buton pada tahun 1564
M. Sultan Halu Oleo dianggap sebagai Sultan Buton pertama, bergelar Sultan atau
Ulil Amri dan menggunakan gelar yang khusus iaitu Sultan Qaimuddin. Maksud
perkataan ini ialah Kuasa Pendiri Agama Islam.
Dalam
riwayat yang lain menyebut bahawa yang melantik Sultan Buton yang pertama
memeluk Islam, bukan Syeikh Abdul Wahid tetapi guru beliau yang sengaja
didatangkan dari Patani. Raja Halu Oleo setelah ditabalkan sebagai Sultan
Kerajaan Islam Buton pertama, dinamakan Sultan Murhum. Ketika diadakan
Simposium Pernaskahan Nusantara Internasional IV, 18 - 20 Julai 2000 di Pekan
Baru, Riau, salah satu kertas kerja membicarakan beberapa aspek tentang Buton,
yang dibentang oleh La Niampe, yang berasal dari Buton. Hasil wawancara saya
kepadanya adalah sebagai berikut:
- Syeikh Abdul Wahid pertama kali sampai di Buton pada tahun 933 H/1526 M.
- Syeikh Abdul Wahid sampai ke Buton kali kedua pada tahun 948 H/1541 M.
- Kedatangan Syeikh Abdul Wahid yang kedua di Buton pada tahun 948 H/1541 M bersama guru beliau yang bergelar Imam Fathani. Ketika itulah terjadi pengislaman beramai-ramai dalam lingkungan Istana Kesultanan Buton dan sekali gus melantik Sultan Murhum sebagai Sultan Buton pertama.
Maklumat
lain, kertas kerja Susanto Zuhdi berjudul Kabanti Kanturuna Mohelana Sebagai
Sumber Sejarah Buton, menyebut bahawa Sultan Murhum, Sultan Buton yang pertama
memerintah dalam lingkungan tahun 1491 M - 1537 M. Menurut Maia Papara Putra
dalam bukunya, Membangun dan Menghidupkan Kembali Falsafah Islam Hakiki Dalam
Lembaga Kitabullah, bahawa ``Kesultanan Buton menegakkan syariat Islam ialah
tahun 1538 Miladiyah.
Jika
kita bandingkan tahun yang saya sebutkan (1564 M), dengan tahun yang disebutkan
oleh La Niampe (948 H/1541 M) dan tahun yang disebutkan oleh Susanto Zuhdi
(1537 M), bererti dalam tahun 948 H/1541 M dan tahun 1564 M, Sultan Murhum
tidak menjadi Sultan Buton lagi kerana masa beliau telah berakhir pada tahun
1537 M. Setelah meninjau pelbagai aspek, nampaknya kedatangan Syeikh Abdul
Wahid di Buton dua kali (tahun 933 H/1526 M dan tahun 948 H/1541 M) yang
diberikan oleh La Niampe adalah lebih meyakinkan.
Yang
menarik pula untuk dibahas ialah keterangan La Niampe yang menyebut bahawa
``Kedatangan Syeikh Abdul Wahid yang kedua kali di Buton pada tahun 948 H/1541
M itu bersama Imam Fathani mengislamkan lingkungan Istana Buton, sekali gus
melantik Sultan Murhum sebagai Sultan Buton yang pertama. Apa sebab Sultan
Buton yang pertama itu dilantik/dinobatkan oleh Imam Fathani ? Dan apa
pula sebabnya sehingga Sultan Buton yang pertama itu bernama Sultan Murhum,
sedangkan di Patani terdapat satu kampung bernama Kampung Parit Murhum.
Kampung
Parit Murhum berdekatan dengan Kerisik, iaitu pusat seluruh aktiviti Kesultanan
Fathani Darus Salam pada zaman dahulu. Semua yang tersebut itu sukar untuk
dijawab. Apakah semuanya ini secara kebetulan saja atau pun memang telah
terjalin sejarah antara Patani dan Buton sejak lama, yang memang belum
diketahui oleh para penyelidik. Namun walau bagaimanapun jauh sebelum ini telah
ada orang yang menulis bahawa ada hubungan antara Patani dengan Ternate. Dan
cukup terkenal legenda bahawa orang Buton sembahyang Jumaat di Ternate. Jika
kita bandingkan dengan semua sistem pemerintahan, sama ada yang bercorak Islam
mahu pun sekular, terdapat perbezaan yang sangat ketara dengan pemerintahan
Islam Buton. Kerajaan Islam Buton berdasarkan Martabat Tujuh. Daripada
kenyataan ini dapat diambil kesimpulan bahawa kerajaan Islam Buton lebih
mengutamakan ajaran tasawuf daripada ajaran yang bercorak zahiri. Walau
bagaimanapun ajaran syariat tidak diabaikan. Semua perundangan ditulis dalam
bahasa Walio menggunakan huruf Arab, yang dinamakan Buru Wolio seperti
kerajaan-kerajaan Melayu menggunakan bahasa Melayu tulisan Melayu/Jawi. Huruf
dan bahasa tersebut selain digunakan untuk perundangan, juga digunakan dalam
penulisan salasilah kesultanan, naskhah-naskhah dan lain-lain. Tulisan tersebut
mulai tidak berfungsi lagi menjelang kemerdekaan Indonesia 1945.
Kehidupan
Politik
Masa pemerintahan Kerajaan Buton
mengalami kemajuan terutama bidang Politik Pemerintahan dengan bertambah
luasnya wilayah kerajaan serta mulai menjalin hubungan Politik dengan Kerajaan
Majapahit, Luwu, Konawe dan Muna. Demikian juga bidang ekonomi mulai
diberlakukan alat tukar dengan menggunakan uang yang disebut Kampua (terbuat
dari kapas yang dipintal menjadi benang kemudian ditenun secara tradisional
menjadi kain). Memasuki masa Pemerintahan Kesultanan juga terjadi perkembangan
diberbagai aspek kehidupan antara lain bidang politik dan pemerintahan dengan
ditetapkannya Undang-Undang Dasar Kesultanan Buton yaitu “Murtabat Tujuh” yang
di dalamnya mengatur fungsi, tugas dan kedudukan perangkat kesultanan dalam
melaksanakan pemerintahan serta ditetapkannya Sistem Desentralisasi (otonomi
daerah) dengan membentuk 72 Kadie (Wilayah Kecil).
Kehidupan Sosial
Masyarakat Buton terdiri dari
berbagai suku bangsa. Mereka mampu mengambil nilai-nilai yang menurut mereka
baik untuk diformulasikan menjadi sebuah adat baru yang dilaksanakan di dalam
pemerintahan kerajaan/kesultanan Buton itu sendiri. Berbagai kelompok adat dan
suku bangsa diakui di dalam masyarakat Buton. Berbagai kebudayaan tersebut
diinkorporasikan ke dalam budaya mereka. Kelompok yang berasal dari Tiongkok
diakui dalam adat mereka. Kelompok yang berasal dari Jawa juga diakui oleh
masyarakat Buton. Di sana terdapat Desa Majapahit, dan dipercaya oleh
masyarakat sekitar bahwa para penghuni desa tersebut memang berasal dari
Majapahit. Mereka sampai di sana karena perdagangan rempah-rempah. Dengan
membuat pemukiman di sana, mereka dapat mempermudah akses dalam memperolah dan
memperdagangkan rempah-rempah ke pulau Jawa. Beberapa peninggalan mereka adalah
berupa gamelan yang sangat mirip dengan gamelan yang terdapat di Jawa.
Imam-imam yang menjabat di dalam
dewan agama juga dipercaya merupakan keturunan Arab. Mereka dengan pengetahuan
agamanya diterima oleh masyarakat Buton dan dipercaya sebagai pemimpin di dalam
bidang agama. Berbagai suku dan adat tersebut mampu bersatu secara baik di
dalam kerajaan/kesultanan Buton. Apabila kita melihat kerajaan/kesultanan lain,
perbedaan itu seringkali memunculkan konflik yang berujung kepada perang
saudara, bahkan perang agama. Sedangkan di Buton sendiri tercatat tidak pernah
terjadi perang antara satu kelompok dengan kelompok lain, terutama bila
menyangkut masalah suku dan agama.
Dapat dikatakan bahwa seluruh
golongan di buton merupakan pendatang. Mereka menerapkan sistem yang
berdasarkan musyawarah. Para perumus sistem kekuasaan atau sistem adat di Buton
juga berasal dari berbagai kelompok suku dan agama. Ada yang berasal dari
semenanjung Malaysia, Si Tamanajo yang berasal dari Kerajaan Pagaruyung. Ada
pula yang berasal dari Jawa yaitu Sri Batara dan Raden Jutubun yang merupakan
putra dari Jayanegara.
Seluruh golongan tersebut berasal
dari kerajaan yang otoriter dan menerapkan sistem putera mahkota. Hampir semua
peralihan kekuasaan tersebut dilakukan dengan kudeta. Di kerajaan Buton hal
tersebut tidak pernah terjadi. Asumsinya, berdasarkan pengalaman pahit dalam
jatuh-bangunnya pemerintahan tersebut, maka mereka yang berkumpul di tanah
Buton tersebut merumuskan suatu sistem yang mampu melakukan peralihan kekuasaan
tanpa harus melalui pahitnya kudeta maupun perang saudara.
Mereka berkumpul di tanah Buton
sejak Gajah Mada mengumumkan sumpah palapa-nya. Pada masa itu Kerajaan
Sriwijaya mengalami kemunduran. Begitu juga Kerajaan Singosari. Seluruh
raja-raja dan panglima yang tidak takluk pada Kerajaan Majapahit akan dijadikan
budak. Pilihan mereka adalah dengan melarikan diri menuju tempat yang aman.
Pulau Buton menjadi salah satu lokasi dimana beberapa pelarian tersebut singgah
dan menetap.
Kehidupan Ekonomian
Wilayah kerajaan/kesultanan Buton
sangat strategis. Pedagang dari India, Arab, Eropa maupun Cina lebih memilih
untuk melalui jalur selatan Kalimantan untuk mencapai kepulauan rempah-rempah
di Maluku. Bila melalui Utara Sulawesi dan selatan kepulauan Filipina, para
pedagang akan berhadapan dengan bajak laut yang banyak berkeliaran di sana.
Selain itu, angin di selatan Kalimantan lebih kencang daripada di sebelah utara
Sulawesi. Masyarakat Buton telah menggunakan alat tukar uang yang disebut
Kampua. Kampua Sehelai kain tenun dengan ukuran 17,5 kali 8 sentimeter. Pajak
juga telah diterapkan di negeri ini. Tunggu Weti sebagai penagih pajak di
daerah kecil ditingkatkan statusnya menjadi Bonto Ogena disamping sebagai penanggung
jawab dalam pengurusan pajak dan keuangan juga mempunyai tugas khusus selaku
kepala siolimbona (saat ini hampir sama dengan ketua lembaga legislatif).
Kerajaan Islam di Kalimantan
· Kerajaan Makasar
Kehidupan Ekonomi
Kerajaan
Makasar merupakan kerajaan Maritim dan berkembang sebagai pusat perdagangan di
Indonesia bagian Timur. Hal ini ditunjang oleh beberapa faktor :
·
letak yang strategis,
·
memiliki pelabuhan yang baik,
·
jatuhnya Malaka ke tangan Portugis
tahun 1511 yang menyebabkan banyak pedagang-pedagang yang pindah ke Indonesia
Timur.
Sebagai
pusat perdagangan Makasar berkembang sebagai pelabuhan internasional dan banyak
disinggahi oleh pedagang-pedagang asing seperti Portugis, Inggris, Denmark dan
sebagainya yang datang untuk berdagang di Makasar.
Pelayaran
dan perdagangan di Makasar diatur berdasarkan hukum niaga yang disebut dengan ADE’
ALOPING LOPING BICARANNA PABBALUE, sehingga dengan adanya hukum niaga tersebut,
maka perdagangan di Makasar menjadi teratur dan mengalami perkembangan yang
pesat.
Selain perdagangan, Makasar juga mengembangkan kegiatan pertanian karena Makasar juga menguasai daerah-daerah yang subur di bagian Timur Sulawesi Selatan.
Kehidupan Sosial Budaya
Selain perdagangan, Makasar juga mengembangkan kegiatan pertanian karena Makasar juga menguasai daerah-daerah yang subur di bagian Timur Sulawesi Selatan.
Kehidupan Sosial Budaya
Sebagai
negara Maritim, maka sebagian besar masyarakat Makasar adalah nelayan dan
pedagang. Mereka giat berusaha untuk meningkatkan taraf kehidupannya, bahkan
tidak jarang dari mereka yang merantau untuk menambah kemakmuran hidupnya.
Walaupun
masyarakat Makasar memiliki kebebasan untuk berusaha dalam mencapai
kesejahteraan hidupnya, tetapi dalam kehidupannya mereka sangat terikat dengan
norma adat yang mereka anggap sakral. Norma kehidupan masyarakat Makasar diatur
berdasarkan adat dan agama Islam yang disebut PANGADAKKANG. Dan
masyarakat Makasar sangat percaya terhadap norma-norma tersebut.
Di
samping norma tersebut, masyarakat Makasar juga mengenal pelapisan sosial yang
terdiri dari lapisan atas yang merupakan golongan bangsawan dan keluarganya
disebut dengan “Anakarung/Karaeng”, sedangkan rakyat kebanyakan disebut “to
Maradeka” dan masyarakat lapisan bawah yaitu para hamba-sahaya disebut
dengan golongan “Ata”. Dari segi kebudayaan, maka masyarakat Makasar
banyak menghasilkan benda-benda budaya yang berkaitan dengan dunia pelayaran.
Mereka terkenal sebagai pembuat kapal. Jenis kapal yang dibuat oleh orang
Makasar dikenal dengan nama Pinisi dan Lombo. Kapal Pinisi dan Lombo merupakan
kebanggaan rakyat Makasar dan terkenal sampai mancanegara.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
http://id.shvoong.com/humanities/history/1948258-kerajaan-gowa-tallo-kekuatan-perkasa/#ixzz1KFVkd0vY
http://id.shvoong.com/humanities/history/1901773-kerajaan-ternate-dan-tidore/#ixzz1KFVJv8FD
http://afand.abatasa.com/post/detail/2284/kerajaan-kerajaan-bercorak-islam-di-indonesia
http://www.kaskus.us/showthread.php?t=7311001
http://endless722.wordpress.com/2009/05/20/kerajaan-samudera-pasai/
http://id.shvoong.com/humanities/history/1901773-kerajaan-ternate-dan-tidore/
http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Buton
http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Malaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar