SMP AL HAMIDY
MENCETAK KADER YANG TERAMPIL DALAM KREASI BERAKHLAQ, BERIMTAQ MENUJU INSAN YANG PARIPURNA
Jumat, 13 Mei 2016
Senin, 28 Desember 2015
RAPAT DEWAN GURU AWAL SEMESTER GENAP
Edisi: 29 Desember 2015
Pimpinan: Kepala Sekolah (Abrori, M.Pd.I
Nutulen : Rohman, S.Pd.I
Agenda:
1. Pemberian Raport
a. Perampungan Raport
b. ....
2. KBM Semester Genap 2015/2016
a. Jadwal
b. Perangkat Pembelajaran Guru
c. Revew Kelengkapan Admensitarsi Sekolah
3. Persiapan Musyawarah Wali Santri/Siswa
a. Sosialisasi sangsi untuk santri yang lambat kembali
b. Undangan Wali
c. Kordinasi dan Konfirmasi pengurus Pondok kepada wali santri
Keputusan:
1. Pemberian Raport
a. * Raport Siap di Bagikan kepada Wali Siswa di waktu Musyawarah Wali santri Tanggal 31
Desember 2015
* Untuk Nilai molok kitab menggunakan Raport Sisipan
b.
2. KBM Semester Genap
a. Jadwal dirubah dengan merampingkan mapel molok
b. Hari Senen Upacara Bendera
c. Hari Sabtu 02 Januari 2016
3. Musyawaroh Wali santri
a. Benner : Syamhaji
b. Kebesihan Aula : Ust Dahri, Ust Sunardi
c. Sonsisitem : Abrori
d. Konsumsi : Hairi, Abrori
e. Serimunial acara : a. Anasyid Islami Pra acara
b. Pembukaan
c. Pembacaan Al Qur'an Murottalan
d. Shalawat Mahallul Qiyam
e. Sambutan Ketua Pengurus (Ust Dahri)
f. Sambutan Majlis Idaro
g. Do'a
Sabtu, 12 Desember 2015
KEBANGKITAN NASIONAL: BUDI UTOMO ATAU SERIKAT ISLAM (SI)
20 Mei menjadi Hari Kebangkitan Nasional bagi Republik Indonesia.
Hari tersebut bukan hanya sekedar hari-hari belaka, tetapi menghujam ke
dalam benak masyarakat Indonesia, bahwa pada hari kelahiran Budi
Utomo-lah Indonesia memiliki kesadaran untuk bangkit secara menyeluruh.
Penetapan seperti ini tak semestinya dianggap enteng. Penetapan hari
penting bagi negara, penetapan pahlawan-pahlawan nasional, tugu-tugu
peringatan memiliki makna yang mendalam sebagai simbol-simbol negara
yang memiliki makna.[1]
Ketika berbicara mengenai hari kelahiran organisasi Budi Utomo sebagai Hari Kebangkitan Nasional, akan ada konsekuensi-konsekuensi dari ‘simbol’ tersebut. Pertanyaan-pertanyaan layak dilontarkan, seperti misalnya, apa benar kesadaran kebangkitan nasional kita berasal dari kesadaran kesukuan (Jawa)? Betulkah ikatan kesukuan lebih mendorong kebangkitan ketimbang agama? Lantas bagaimana peran nyatanya dalam kehidupan? Pertanyaan, jika tak ingin dibilang gugatan seputar penetapan Hari Kebangkitan Nasional bukanlah hal baru. Setidaknya, sejak 1956, ketika diperingati Hari Kebangkitan Indonesia, gugatan tersebut telah mengemuka.[2]
Kesadaran kita sebagai sebuah bangsa (bukan negara-bangsa) telah lama muncul dan diakui oleh masyarakat dunia. Bukan melalui ranah-ranah politis, namun melalui para haji dan penuntut ilmu. Di Tanah Suci Mekkah, ratusan hingga ribuan orang telah pergi beribadah haji dan sebagian lainnya melanjutkan untuk menuntut ilmu disana. Setidaknya ulama-ulama nusantara, telah dikenal sebagai bangsa ‘Jawi’ oleh para masyarakat di Timur Tengah. Orang-orang Jawi ini tidak saja pengakuan terhadap orang Jawa, tetapi juga Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Sumbawa hingga Patani (Thailand) dan Mindanao (Filipina).[3]
Eksistensi ulama-ulama nusantara ini semakin berkibar tatkala nama-nama seperti Abdusshomad Al Palimbani, Hamzah Fansuri, Yusuf Al Maqassari, Daud Fattani, Arsyad Al Banjari hingga Nawawi Al Bantani dan Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi menghiasi deretan para penuntut ilmu dan ulama di tanah Suci. Bangsa ‘Jawi’, telah dikenal dan mengenali dirinya sendiri sebagai orang Jawi yang diikat oleh sebuah ikatan abadi bernama Akidah. Islam telah menjadi tali yang kokoh mengikat bangsa kita selama berabad-abad, jauh sebelum ikatan politis bernama nasionalisme hadir di tanah air.
Perlawanan terhadap penjajahan juga didorong oleh ikatan Islam. Berabad-abad ia menjadi obor yang berkobar-kobar membakar semangat jihad melawan penjajahan. Ketika diabad ke 19, Penjajah Belanda membungkam hampir seluruh perlawanan di nusantara, maka di awal abad ke 20 saluran-saluran perlawanan muncul dalam bentuk pergerakan. Penilaian seputar Kebangkitan Nasional perlu dicermati. Menimbang dan menelisik kehadiran Budi Utomo, dapat dilakukan dengan melihat tahun-tahun pertama berdirinya organisasi Budi Utomo.
Pidato Ratu Wilhelmina di tahun 1901, menandai beralihnya suatu periode baru yang lazim disebut politik Etis. Sang Ratu menitahkan,
“Sebagai Negara Kristen, Negeri Belanda Wajib memperbaiki kedudukan hukum orang-orang Kristen Pribumi di Kepulauan Hindia, memberikan dukungan kuat pada misi Kristen dan menanamkan pada seluruh system pemerintahan dengan kesadaran bahwa Negeri Belanda mempunyai kewajiban moral terhadap penduduk di kawasan ini.”[4]
Proses politik etis ini dapat kita baca sebagai proses pembaratan penduduk pribumi dengan segala batasannya. Salah satu tujuan politik etis adalah desentralisasi (birokrasi) pemerintahan kolonial. Tetapi tentu saja, pemerintah Belanda tak berniat memberikan kemerdekaan kepada Hindia Belanda. Pemerintah colonial tetaplah penguasanya. Hanya saja perailhan ini memberikan kesempatan bagi orang jawa untuk mencicipi posisi birokrasi kolonial. Maka sejumlah besar bangsawan Jawa, Priyayi lebih tepatnya, mendapat kesempatan ini.
Priyayi yang telah merasakan birokrasi kolonial ini memang terbatas jumlahnya jika dibandingkan dengan penduduk Jawa yang ada. Para priyayi terdidik barat ini lambat laun mulai untuk memperjuangkan nasib, meski untuk kalangan mereka sendiri. Hal itu dapat dilihat, misalnya dari terbitnya majalah Retnodoemillah atau Pewarta Prijaji. Meski awalnya mungkin majalah ini dipakai sebagai sarana komunikasi antar elit Jawa, namun majalah ini memuat pula berita-berita lain, misalnya berita dunia.[5]
Lama kelamaan Retnodoemillah menyasar pula tak hanya kalangan elit, tetapi juga orang Jawa. Otak dibalik Redaksi Retnodoemillah adalah Dr. Wahidin Soedirohoesodo. Dr. Wahidin memang memimpikan kebangkitan bangsa Jawa. Pendapatnya yang menyatakan Hindu-Budha yang memberikan pengaruh pada budaya Jawa, memperkuat citanya untuk menggerakan bangsa Jawa. Maka citanya disambut ketika ia bertemu dengan murid-murid, STOVIA, terutama Soetomo dan Soeradji di akhir 1907. Murid-murid STOVIA kemudian menjadi pelopor lahirnya Budi Utomo.[6]
Budi Utomo akhirnya di bentuk tanggal 20 Mei 1908 pukul sembilan pagi di aula STOVIA. Tidak hanya dihadiri oleh siswa STOVIA namun dari sekolah lain seperti sekolah pertanian dan kehewanan di Bogor, serta sekolang pamong praja di Magelang dan Probolinggo. Meski para pelopor Budi Utomo tampak lebih progresif dalam pemikiran dibandingkan Dr. Wahidin, namun sentimen Jawa dan non-Jawa masih tak bisa lepas dari Budi Utomo. Maka tak heran apabila murid-murid STOVIA tersebut tampak enggan untuk mengundang orang non Jawa sebagai anggota mereka.
Goenawan Mangunkusumo, salah seorang penggerak Budi Utomo kala itu menyatakan,
“Dengan orang-orang Sumatera, Menado, Ambon dan banyak lagi lainnya yang diam di Hindia, dan hidup dibawah naungan bendera Belanda, kami tidak berani mengajak bekerja sama…”
Meski Goenawan juga menyebut penolakan terhadap orang-orang Prbumi Kristen, karena mereka diistimewakan, namun tampaknya sentiment kedaerahan masih mewarnai pandangannya, “Dengan demikian kita membatasi kegiatan kita dari kalangan luar. Karena sudah menjadi konsep budaya. Di dalam konsep budaya inilah kita mencari unsure-unsur yang membentuk suatu rakyat. Suatu bangsa.”[7]
Elemen yang bersuara untuk persatuan Hindia bukannya tidak ada, namun minoritas. Diwakili oleh Tjipto Mangoennkoesoemo. Tjipto adalah penganjur pendidikan untuk seluruh warga Hindia Belanda. Tjipto dengan keras pula mencela seni dan sejarah Jawa, serta bangsawan Jawa. Hasrat ingin membawa Budi Utomo ke arah politik ‘radikal’ yang menjadikan Hindia tanah merdeka jelas berseberangan dengan Budi Utomo yang cenderung menjauhi politik dan hanya berkutat di pendidikan dan kebudayaan. Maka jelas, jalan Tjipto bukanlah di Budi Utomo. Sehingga ia pun akhirnya mengundurkan diri dari Budi Utomo.[8]
Haluan Budi Utomo, menurut soewarno, seorang tokoh Budi Utomo, menyatakan bahwa Budi Utomo menjadi pelopor bagi Algemeen Javaansche Bond atau Persatuan Seluruh Jawa. Namun tugas pokok Budi Utomo adalah untuk “merintis jalan bagi perkembangan yang harmonis bagi negeri dan bangsa Hindia Belanda.”
Kecondongan, jika tak ingin disebut pemujaan, Budi Utomo pada Jawa memang akhirnya yang mengurung organisasi itu sendiri, sehingga tak berkiprah luas. Dalam Anggaran Dasar yang ditetapkan, Budi Utomo menyebutkan bahwa tujuan organisasi adalah untuk “…menggalang kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis.” Budi Utomo memang tidak pernah ‘berniat’ untuk memperluas organisasinya pada daerah lain yang bukan dibawah pengaruh kebudayaan Jawa. Meskipun sejak 1909 cabang-cabang dibuka di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Ambon, namun keanggotaan dibatasi pada personil militer yang berasal dari Jawa, atau untuk imigran Jawa yang telah bermukim di sana. Hal ini disebabkan karena dalam syarat untuk menjadi anggota Budi Utomo, disebutkan syarat keanggotaan terbatas pada pribumi Jawa dan Madura.[9]
Sikap dan pandangan Jawa sentris ini memang membelenggu Budi Utomo. Maka tak heran hingga akhir tahun 1900-an pun anggotanya paling banyak hanya 10 ribu orang. Salah satu faktor yang membuat orang Jawa enggan untuk bergabung dengan Budi Utomo adalah karena organisasi ini diisi oleh para priyayi. Bagi rakyat Jawa jelata ada perasaan sungkan untuk begabung dengan (Priyayi dan ningrat) Budi Utomo. Di Surakarta sendiri, Budi Utomo tidak mendapat sambutan hangat. Kecondongan Budi Utomo kepada Kesultanan Jogjakarta membuat rakyat Surakarta yang didominasi pedagang dan santri enggan merapat ke Budi Utomo.
Budi Utomo memang terang bukan organisasi yang mendekat pada Islam. Budi Utomo menganut paham netral agama. Bahkan Budi Utomo, jika ditelisik lebih dalam lebih condong kepada Theosofi. Kedekatan Budi Utomo dengan theosofi misalnya, dapat kita lihat dari seorang tokoh wakil sekretaris Himpunan Theosofi di Hindia Belanda, yaitu D. Van Hinloopen Labberton. Labberton, yang disebut ‘Kiai’ oleh Dr. Sutomo ini, memberikan dukungannya kepada Budi Utomo. Maka meski ada upaya-upaya mendekatkan Budi Utomo kepada umat Islam yang dilakukan oleh segelintir pengurus Budi Utomo, namun upaya ini akhirnya kandas, karena tak disetujui oleh perkumpulan secara resmi. [10]
Budi Utomo memang melakukan pencapaian-pencapaian di tanah Jawa, misalnya dengan membuka sekolah-sekolah untuk pribumi Jawa. Namun melihat kenyataan-kenyataan yang terhampar, Budi Utomo lebih tepat untuk disebut pelopor kebangkitan Jawa ketimbang nasional. Hal ini berbanding terbalik, jika kita melihat kiprah Sarekat Islam di tanah air.
Sarekat Islam yang awalnya disebut Sarekat Dagang Islam, lahir lebih dahulu ketimbang Budi Utomo, yaitu tahun 1905. Memang ada perbedaan pendapat di kalangan sejarawan mengenai tahun kelahiran Sarekat Dagang Islam.[11] Namun, menurut kesaksian sang pendiri, yaitu H. Samanhoedi, Sarekat Dagang Islam (SDI) lahir 1905 di Surakarta. Sarekat Dagang Islam lahir awalnya sebagai upaya untuk mengimbangi pedagang Cina pada masa itu.[12] Perkumpulan ini berupaya mengumpulkan para pedagang batik pribumi dan arab di Surakarta. Persaingan dengan orang tionghoa semakin rumit dengan retaknya hubungan social diantara pribumi dan Cina di masyarakat. Sikap orang Cina yang menjadi arogan, akibat meningkatnya nasionalisme Cina. Mereka mengaitkan diri mereka dengan orang-orang Cina di tanah leluhur mereka dan sebagai bagian dari Cina raya di dunia.Hal ini mengakibatkan munculnya fundamentalisme dan rasa ekslusif serta agresif dari kalangan orang Cina di Jawa masa itu. Lahirnya Republik Tiongkok semakin menambah rasa percaya diri mereka. Berbagai perkumpulan eksklusif orang-orang Cina seperti Tiong Hoa Hwee Koan, yang mendirikan sekolah-sekolah berbahasa Cina semakin memperbesar jurang yang ada. Di Hindia Belanda, mereka menuntut statusnya disamakan dengan orang eropa. Keretakan hubungan ini seringkali ditandai dengan bentrok antara penduduk pribumi dan Cina. [13]
Kiprah Sarekat Dagang Islam, meski telah melakukan kongresnya sejak tahun 1906, namun belum berbuat banyak. Tahun 1909, H. Samanhoedi bertemu dengan Tirtoadisoerjo, seorang pelopor pers di tanah air yang juga memiliki organisasi Sarekat Dagang Islamijah di Batavia. Mereka kemudian menggabungkan kedua organisasi tersebut dan melebur menjadi Sarekat Dagang Islam. Tirtoadisoerjo yang juga memimpin surat kabar Medan Prijaji ditugaskan untuk mengenalkan Sarekat Dagang Islam melalui pers. Tahun 1911, ketika Sarekat Dagang Islam melebur, telah terasa kecondongan organisasi tersebut kearah persatuan. Hal ini dapat dilihat dari tujuan organisasi tersebut yang berupaya untuk membantu sesama muslim dan meningkatkan kesejahteraan pribumi.[14]
Tahun 1912, organisasi ini semakin besar. Dengan 4.500 orang anggotanya, dalam beberapa kasus, anggota Sarekat Dagang Islam berkonflik dengan orang-orang Cina, sebagai bagian dari pembelaan terhadap sesama anggota SDI. Jumlah yang semakin membesar ini membuat pemerintah kolonial mencekal organisasi tersebut dan melarang mereka untuk mengadakan pertemuan. Di lain sisi, SDI terus membesar dan memperoleh pengikut di Surabaya. Di Surabaya inilah Sarekat Dagang Islam mengajak Oemar Said Tjokroaminoto untuk bergabung. Suatu kejadian yang akan mengubah jalan SDI dan juga bangsa Indonesia.[15]
Terjepit oleh pencekalan dari pemerintah kolonial SDI akhirnya melebur dengan cabang Surabaya dan membentuk nama baru, yaitu Sarekat Islam (SI). Dengan lahirnya Sarekat Islam, maka arah pergerakan di Hindia Belanda tak lagi sama. Sarekat Islam meroket dan merebut hari masyarakat pribumi ketika itu. Jumlah anggotanya meledak, Dari 35 ribu orang di Agustus 1914, pada tahun 1915, Sarekat Islam telah memiliki 490.120 anggota. Bahkan pada tahun 1919, anggota Sarekat Islam telah mencapai 2 juta orang.[16]
Sarekat Islam memang mampu menyatukan penduduk pribumi. Agama Islam sebagai pengikat yang erat diantara masyarakat Hindia Belanda ketika itu. Kala itu, menyebut orang pribumi berarti adalah orang Islam.[17] Sarekat Islam mampu menyatukan rakyat pribumi dari berbagai lapisan, mulai dari kalangan bangsawan, terdidik barat, hingga para ulama. Karena azas Islam ini pula SI memilki daya ikat yang luar biasa. Bagi SI, agama Islam bukanlah sekedar ‘jualan’ untuk mengumpulkan massa, seperti yang dituduhkan sebagian kalangan peneliti. Dampak dari hadirnya Sarekat Islam amat terasa pada sisi keshalehan. Masjid-masjid menjadi lebih penuh, bukan hanya di hari Jumat, tetapi juga di hari-hari biasa. Ada kalanya masjid-masjid sampai penuh sesak tak mampu menampung jamaah. Banyak pekerja yang meminta libur pada hari Jumat. Di Menggala, Lampung, warung tutup saat waktu Jumat. Kehadiran Sarekat Islam juga menimbulkan rasa keterkaitan dengan kekhalifahan Turki Usmani.[18]
Di pedesaan, Sarekat Islam menjadi saluran bagi para petani untuk menyalurkan aspirasinya. Tak bisa dipungkiri memang, karisma Tjokroaminoto begitu dahsyat. Ketika rapat terbuka SI pertama kali diadakan (setelah masuknya Tjokroaminoto), massa yang berkumpul mencapai 80 ribu orang. Tjokroaminoto, dengan suara bariton dan kemampuannya yang luar biasa dalam berpidato, telah ‘menyihir’ masyarakat pribumi ketika itu. Namun adalah sebuah kekeliruan ketika mengggap bergabungnya orang-orang ke dalam Sarekat Islam akibat pribadi Tjokroaminoto semata.[19]
Sarekat Islam telah menjadi pembela bagi para pedagang kecil, kaum buruh, kaum tani dan rakyat miskin lainnya. Sarekat Islam sejak awal kongres pertamanya telah berbicara mengenai ‘negeri’, bukan suku seperti Budi Utomo. Dalam tujuan awalnya, Sarekat Islam “…berikhtiar mengangkat derajat rakyat agar menimbulkan kemakmuran, kesejahteraan dan kebesaran negeri.”[20]
Sikap politik Sarekat Islam memang bukan sikap konfrontatif seperti Indische Partij (IP). Hal ini disebabkan oleh sikap pemerintah kolonial yang amat represif. Bersikap seperti IP berarti pembungkaman. Melalui sikap yang koperatif, SI mampu mempertahankan dirinya agar tetap bisa hidup. Bahkan SI mulai berbicara tentang pemerintahan sendiri (selfbestuur) dan nasionalisme pada kongresnya yang kedua.
Sikap Tjokroaminoto tentang emansipasi politik, dapat kita tangkap dari pidatonya tahun 1916 di Bandung. Ia mengatakan, tidaklah layak Hindia Belanda diperintah oleh Holland. Zoals een landheer zijn percelen beheert (Sebagai tuan tanah yang menguasai tanah-tanahnya). Hindia Belanda tidaklah layak lagi dianggap sebagai seekor sapi perahan, yang hanya diberi makan demi susunya. Tempat dimana orang-orang berdatangan hanya untuk memperoleh keuntungan. Keadaan yang sekarang, yaitu negeri kita diperintah oleh suatu Staten-General yang begitu jauh tempatnya nun di sana, harus diganti dengan situasi pemerintahan sendiri. Setidak-tidaknya digantikan oleh suatu keadaan dimana penduduk Hindia Belanda mempunyai hak untuk berbicara mengenai urusan pemerintahan. Selanjutnya lagi dikatakan pula bahwa tidak layak lagi, undang-undang dibuat untuk kita tanpa kita.[21]
Sarekat Islam meski bersikap tidak frontal, namun tetap berdiri tegak membela rakyat pribumi di tanah air. Mereka tetap tajam mengkritik praktek-praktek keji kolonialisme, mulai dari urusan kesejahteraan, ekonomi, nasib kaum buruh, hingga menentang kristenisasi di tanah air.[22] Anggotanya mengikat seluruh lapisan masyarakat. Kaya hingga miskin. Pedagang, hingga priyai. Jurnalis hingga ulama. Dan kepeduliannya tak disekat oleh belenggu suku atau etnis. Maka, bertolak dari kenyataan, kenyataan tersebut, amat layak jika kita kedepankan Sarekat Islam sebagai pelopor Kebangkitan Nasional Indonesia. Suatu gerakan merakyat, merentang luas,mengikat rakyat dalam satu ikatan, yaitu Islam.
Oleh : Beggy Rizkiyansyah – Penggiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
Ketika berbicara mengenai hari kelahiran organisasi Budi Utomo sebagai Hari Kebangkitan Nasional, akan ada konsekuensi-konsekuensi dari ‘simbol’ tersebut. Pertanyaan-pertanyaan layak dilontarkan, seperti misalnya, apa benar kesadaran kebangkitan nasional kita berasal dari kesadaran kesukuan (Jawa)? Betulkah ikatan kesukuan lebih mendorong kebangkitan ketimbang agama? Lantas bagaimana peran nyatanya dalam kehidupan? Pertanyaan, jika tak ingin dibilang gugatan seputar penetapan Hari Kebangkitan Nasional bukanlah hal baru. Setidaknya, sejak 1956, ketika diperingati Hari Kebangkitan Indonesia, gugatan tersebut telah mengemuka.[2]
Kesadaran kita sebagai sebuah bangsa (bukan negara-bangsa) telah lama muncul dan diakui oleh masyarakat dunia. Bukan melalui ranah-ranah politis, namun melalui para haji dan penuntut ilmu. Di Tanah Suci Mekkah, ratusan hingga ribuan orang telah pergi beribadah haji dan sebagian lainnya melanjutkan untuk menuntut ilmu disana. Setidaknya ulama-ulama nusantara, telah dikenal sebagai bangsa ‘Jawi’ oleh para masyarakat di Timur Tengah. Orang-orang Jawi ini tidak saja pengakuan terhadap orang Jawa, tetapi juga Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Sumbawa hingga Patani (Thailand) dan Mindanao (Filipina).[3]
Eksistensi ulama-ulama nusantara ini semakin berkibar tatkala nama-nama seperti Abdusshomad Al Palimbani, Hamzah Fansuri, Yusuf Al Maqassari, Daud Fattani, Arsyad Al Banjari hingga Nawawi Al Bantani dan Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi menghiasi deretan para penuntut ilmu dan ulama di tanah Suci. Bangsa ‘Jawi’, telah dikenal dan mengenali dirinya sendiri sebagai orang Jawi yang diikat oleh sebuah ikatan abadi bernama Akidah. Islam telah menjadi tali yang kokoh mengikat bangsa kita selama berabad-abad, jauh sebelum ikatan politis bernama nasionalisme hadir di tanah air.
Perlawanan terhadap penjajahan juga didorong oleh ikatan Islam. Berabad-abad ia menjadi obor yang berkobar-kobar membakar semangat jihad melawan penjajahan. Ketika diabad ke 19, Penjajah Belanda membungkam hampir seluruh perlawanan di nusantara, maka di awal abad ke 20 saluran-saluran perlawanan muncul dalam bentuk pergerakan. Penilaian seputar Kebangkitan Nasional perlu dicermati. Menimbang dan menelisik kehadiran Budi Utomo, dapat dilakukan dengan melihat tahun-tahun pertama berdirinya organisasi Budi Utomo.
Pidato Ratu Wilhelmina di tahun 1901, menandai beralihnya suatu periode baru yang lazim disebut politik Etis. Sang Ratu menitahkan,
“Sebagai Negara Kristen, Negeri Belanda Wajib memperbaiki kedudukan hukum orang-orang Kristen Pribumi di Kepulauan Hindia, memberikan dukungan kuat pada misi Kristen dan menanamkan pada seluruh system pemerintahan dengan kesadaran bahwa Negeri Belanda mempunyai kewajiban moral terhadap penduduk di kawasan ini.”[4]
Proses politik etis ini dapat kita baca sebagai proses pembaratan penduduk pribumi dengan segala batasannya. Salah satu tujuan politik etis adalah desentralisasi (birokrasi) pemerintahan kolonial. Tetapi tentu saja, pemerintah Belanda tak berniat memberikan kemerdekaan kepada Hindia Belanda. Pemerintah colonial tetaplah penguasanya. Hanya saja perailhan ini memberikan kesempatan bagi orang jawa untuk mencicipi posisi birokrasi kolonial. Maka sejumlah besar bangsawan Jawa, Priyayi lebih tepatnya, mendapat kesempatan ini.
Priyayi yang telah merasakan birokrasi kolonial ini memang terbatas jumlahnya jika dibandingkan dengan penduduk Jawa yang ada. Para priyayi terdidik barat ini lambat laun mulai untuk memperjuangkan nasib, meski untuk kalangan mereka sendiri. Hal itu dapat dilihat, misalnya dari terbitnya majalah Retnodoemillah atau Pewarta Prijaji. Meski awalnya mungkin majalah ini dipakai sebagai sarana komunikasi antar elit Jawa, namun majalah ini memuat pula berita-berita lain, misalnya berita dunia.[5]
Lama kelamaan Retnodoemillah menyasar pula tak hanya kalangan elit, tetapi juga orang Jawa. Otak dibalik Redaksi Retnodoemillah adalah Dr. Wahidin Soedirohoesodo. Dr. Wahidin memang memimpikan kebangkitan bangsa Jawa. Pendapatnya yang menyatakan Hindu-Budha yang memberikan pengaruh pada budaya Jawa, memperkuat citanya untuk menggerakan bangsa Jawa. Maka citanya disambut ketika ia bertemu dengan murid-murid, STOVIA, terutama Soetomo dan Soeradji di akhir 1907. Murid-murid STOVIA kemudian menjadi pelopor lahirnya Budi Utomo.[6]
Budi Utomo akhirnya di bentuk tanggal 20 Mei 1908 pukul sembilan pagi di aula STOVIA. Tidak hanya dihadiri oleh siswa STOVIA namun dari sekolah lain seperti sekolah pertanian dan kehewanan di Bogor, serta sekolang pamong praja di Magelang dan Probolinggo. Meski para pelopor Budi Utomo tampak lebih progresif dalam pemikiran dibandingkan Dr. Wahidin, namun sentimen Jawa dan non-Jawa masih tak bisa lepas dari Budi Utomo. Maka tak heran apabila murid-murid STOVIA tersebut tampak enggan untuk mengundang orang non Jawa sebagai anggota mereka.
Goenawan Mangunkusumo, salah seorang penggerak Budi Utomo kala itu menyatakan,
“Dengan orang-orang Sumatera, Menado, Ambon dan banyak lagi lainnya yang diam di Hindia, dan hidup dibawah naungan bendera Belanda, kami tidak berani mengajak bekerja sama…”
Meski Goenawan juga menyebut penolakan terhadap orang-orang Prbumi Kristen, karena mereka diistimewakan, namun tampaknya sentiment kedaerahan masih mewarnai pandangannya, “Dengan demikian kita membatasi kegiatan kita dari kalangan luar. Karena sudah menjadi konsep budaya. Di dalam konsep budaya inilah kita mencari unsure-unsur yang membentuk suatu rakyat. Suatu bangsa.”[7]
Elemen yang bersuara untuk persatuan Hindia bukannya tidak ada, namun minoritas. Diwakili oleh Tjipto Mangoennkoesoemo. Tjipto adalah penganjur pendidikan untuk seluruh warga Hindia Belanda. Tjipto dengan keras pula mencela seni dan sejarah Jawa, serta bangsawan Jawa. Hasrat ingin membawa Budi Utomo ke arah politik ‘radikal’ yang menjadikan Hindia tanah merdeka jelas berseberangan dengan Budi Utomo yang cenderung menjauhi politik dan hanya berkutat di pendidikan dan kebudayaan. Maka jelas, jalan Tjipto bukanlah di Budi Utomo. Sehingga ia pun akhirnya mengundurkan diri dari Budi Utomo.[8]
Haluan Budi Utomo, menurut soewarno, seorang tokoh Budi Utomo, menyatakan bahwa Budi Utomo menjadi pelopor bagi Algemeen Javaansche Bond atau Persatuan Seluruh Jawa. Namun tugas pokok Budi Utomo adalah untuk “merintis jalan bagi perkembangan yang harmonis bagi negeri dan bangsa Hindia Belanda.”
Kecondongan, jika tak ingin disebut pemujaan, Budi Utomo pada Jawa memang akhirnya yang mengurung organisasi itu sendiri, sehingga tak berkiprah luas. Dalam Anggaran Dasar yang ditetapkan, Budi Utomo menyebutkan bahwa tujuan organisasi adalah untuk “…menggalang kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis.” Budi Utomo memang tidak pernah ‘berniat’ untuk memperluas organisasinya pada daerah lain yang bukan dibawah pengaruh kebudayaan Jawa. Meskipun sejak 1909 cabang-cabang dibuka di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Ambon, namun keanggotaan dibatasi pada personil militer yang berasal dari Jawa, atau untuk imigran Jawa yang telah bermukim di sana. Hal ini disebabkan karena dalam syarat untuk menjadi anggota Budi Utomo, disebutkan syarat keanggotaan terbatas pada pribumi Jawa dan Madura.[9]
Sikap dan pandangan Jawa sentris ini memang membelenggu Budi Utomo. Maka tak heran hingga akhir tahun 1900-an pun anggotanya paling banyak hanya 10 ribu orang. Salah satu faktor yang membuat orang Jawa enggan untuk bergabung dengan Budi Utomo adalah karena organisasi ini diisi oleh para priyayi. Bagi rakyat Jawa jelata ada perasaan sungkan untuk begabung dengan (Priyayi dan ningrat) Budi Utomo. Di Surakarta sendiri, Budi Utomo tidak mendapat sambutan hangat. Kecondongan Budi Utomo kepada Kesultanan Jogjakarta membuat rakyat Surakarta yang didominasi pedagang dan santri enggan merapat ke Budi Utomo.
Budi Utomo memang terang bukan organisasi yang mendekat pada Islam. Budi Utomo menganut paham netral agama. Bahkan Budi Utomo, jika ditelisik lebih dalam lebih condong kepada Theosofi. Kedekatan Budi Utomo dengan theosofi misalnya, dapat kita lihat dari seorang tokoh wakil sekretaris Himpunan Theosofi di Hindia Belanda, yaitu D. Van Hinloopen Labberton. Labberton, yang disebut ‘Kiai’ oleh Dr. Sutomo ini, memberikan dukungannya kepada Budi Utomo. Maka meski ada upaya-upaya mendekatkan Budi Utomo kepada umat Islam yang dilakukan oleh segelintir pengurus Budi Utomo, namun upaya ini akhirnya kandas, karena tak disetujui oleh perkumpulan secara resmi. [10]
Budi Utomo memang melakukan pencapaian-pencapaian di tanah Jawa, misalnya dengan membuka sekolah-sekolah untuk pribumi Jawa. Namun melihat kenyataan-kenyataan yang terhampar, Budi Utomo lebih tepat untuk disebut pelopor kebangkitan Jawa ketimbang nasional. Hal ini berbanding terbalik, jika kita melihat kiprah Sarekat Islam di tanah air.
Sarekat Islam yang awalnya disebut Sarekat Dagang Islam, lahir lebih dahulu ketimbang Budi Utomo, yaitu tahun 1905. Memang ada perbedaan pendapat di kalangan sejarawan mengenai tahun kelahiran Sarekat Dagang Islam.[11] Namun, menurut kesaksian sang pendiri, yaitu H. Samanhoedi, Sarekat Dagang Islam (SDI) lahir 1905 di Surakarta. Sarekat Dagang Islam lahir awalnya sebagai upaya untuk mengimbangi pedagang Cina pada masa itu.[12] Perkumpulan ini berupaya mengumpulkan para pedagang batik pribumi dan arab di Surakarta. Persaingan dengan orang tionghoa semakin rumit dengan retaknya hubungan social diantara pribumi dan Cina di masyarakat. Sikap orang Cina yang menjadi arogan, akibat meningkatnya nasionalisme Cina. Mereka mengaitkan diri mereka dengan orang-orang Cina di tanah leluhur mereka dan sebagai bagian dari Cina raya di dunia.Hal ini mengakibatkan munculnya fundamentalisme dan rasa ekslusif serta agresif dari kalangan orang Cina di Jawa masa itu. Lahirnya Republik Tiongkok semakin menambah rasa percaya diri mereka. Berbagai perkumpulan eksklusif orang-orang Cina seperti Tiong Hoa Hwee Koan, yang mendirikan sekolah-sekolah berbahasa Cina semakin memperbesar jurang yang ada. Di Hindia Belanda, mereka menuntut statusnya disamakan dengan orang eropa. Keretakan hubungan ini seringkali ditandai dengan bentrok antara penduduk pribumi dan Cina. [13]
Kiprah Sarekat Dagang Islam, meski telah melakukan kongresnya sejak tahun 1906, namun belum berbuat banyak. Tahun 1909, H. Samanhoedi bertemu dengan Tirtoadisoerjo, seorang pelopor pers di tanah air yang juga memiliki organisasi Sarekat Dagang Islamijah di Batavia. Mereka kemudian menggabungkan kedua organisasi tersebut dan melebur menjadi Sarekat Dagang Islam. Tirtoadisoerjo yang juga memimpin surat kabar Medan Prijaji ditugaskan untuk mengenalkan Sarekat Dagang Islam melalui pers. Tahun 1911, ketika Sarekat Dagang Islam melebur, telah terasa kecondongan organisasi tersebut kearah persatuan. Hal ini dapat dilihat dari tujuan organisasi tersebut yang berupaya untuk membantu sesama muslim dan meningkatkan kesejahteraan pribumi.[14]
Tahun 1912, organisasi ini semakin besar. Dengan 4.500 orang anggotanya, dalam beberapa kasus, anggota Sarekat Dagang Islam berkonflik dengan orang-orang Cina, sebagai bagian dari pembelaan terhadap sesama anggota SDI. Jumlah yang semakin membesar ini membuat pemerintah kolonial mencekal organisasi tersebut dan melarang mereka untuk mengadakan pertemuan. Di lain sisi, SDI terus membesar dan memperoleh pengikut di Surabaya. Di Surabaya inilah Sarekat Dagang Islam mengajak Oemar Said Tjokroaminoto untuk bergabung. Suatu kejadian yang akan mengubah jalan SDI dan juga bangsa Indonesia.[15]
Terjepit oleh pencekalan dari pemerintah kolonial SDI akhirnya melebur dengan cabang Surabaya dan membentuk nama baru, yaitu Sarekat Islam (SI). Dengan lahirnya Sarekat Islam, maka arah pergerakan di Hindia Belanda tak lagi sama. Sarekat Islam meroket dan merebut hari masyarakat pribumi ketika itu. Jumlah anggotanya meledak, Dari 35 ribu orang di Agustus 1914, pada tahun 1915, Sarekat Islam telah memiliki 490.120 anggota. Bahkan pada tahun 1919, anggota Sarekat Islam telah mencapai 2 juta orang.[16]
Sarekat Islam memang mampu menyatukan penduduk pribumi. Agama Islam sebagai pengikat yang erat diantara masyarakat Hindia Belanda ketika itu. Kala itu, menyebut orang pribumi berarti adalah orang Islam.[17] Sarekat Islam mampu menyatukan rakyat pribumi dari berbagai lapisan, mulai dari kalangan bangsawan, terdidik barat, hingga para ulama. Karena azas Islam ini pula SI memilki daya ikat yang luar biasa. Bagi SI, agama Islam bukanlah sekedar ‘jualan’ untuk mengumpulkan massa, seperti yang dituduhkan sebagian kalangan peneliti. Dampak dari hadirnya Sarekat Islam amat terasa pada sisi keshalehan. Masjid-masjid menjadi lebih penuh, bukan hanya di hari Jumat, tetapi juga di hari-hari biasa. Ada kalanya masjid-masjid sampai penuh sesak tak mampu menampung jamaah. Banyak pekerja yang meminta libur pada hari Jumat. Di Menggala, Lampung, warung tutup saat waktu Jumat. Kehadiran Sarekat Islam juga menimbulkan rasa keterkaitan dengan kekhalifahan Turki Usmani.[18]
Di pedesaan, Sarekat Islam menjadi saluran bagi para petani untuk menyalurkan aspirasinya. Tak bisa dipungkiri memang, karisma Tjokroaminoto begitu dahsyat. Ketika rapat terbuka SI pertama kali diadakan (setelah masuknya Tjokroaminoto), massa yang berkumpul mencapai 80 ribu orang. Tjokroaminoto, dengan suara bariton dan kemampuannya yang luar biasa dalam berpidato, telah ‘menyihir’ masyarakat pribumi ketika itu. Namun adalah sebuah kekeliruan ketika mengggap bergabungnya orang-orang ke dalam Sarekat Islam akibat pribadi Tjokroaminoto semata.[19]
Sarekat Islam telah menjadi pembela bagi para pedagang kecil, kaum buruh, kaum tani dan rakyat miskin lainnya. Sarekat Islam sejak awal kongres pertamanya telah berbicara mengenai ‘negeri’, bukan suku seperti Budi Utomo. Dalam tujuan awalnya, Sarekat Islam “…berikhtiar mengangkat derajat rakyat agar menimbulkan kemakmuran, kesejahteraan dan kebesaran negeri.”[20]
Sikap politik Sarekat Islam memang bukan sikap konfrontatif seperti Indische Partij (IP). Hal ini disebabkan oleh sikap pemerintah kolonial yang amat represif. Bersikap seperti IP berarti pembungkaman. Melalui sikap yang koperatif, SI mampu mempertahankan dirinya agar tetap bisa hidup. Bahkan SI mulai berbicara tentang pemerintahan sendiri (selfbestuur) dan nasionalisme pada kongresnya yang kedua.
Sikap Tjokroaminoto tentang emansipasi politik, dapat kita tangkap dari pidatonya tahun 1916 di Bandung. Ia mengatakan, tidaklah layak Hindia Belanda diperintah oleh Holland. Zoals een landheer zijn percelen beheert (Sebagai tuan tanah yang menguasai tanah-tanahnya). Hindia Belanda tidaklah layak lagi dianggap sebagai seekor sapi perahan, yang hanya diberi makan demi susunya. Tempat dimana orang-orang berdatangan hanya untuk memperoleh keuntungan. Keadaan yang sekarang, yaitu negeri kita diperintah oleh suatu Staten-General yang begitu jauh tempatnya nun di sana, harus diganti dengan situasi pemerintahan sendiri. Setidak-tidaknya digantikan oleh suatu keadaan dimana penduduk Hindia Belanda mempunyai hak untuk berbicara mengenai urusan pemerintahan. Selanjutnya lagi dikatakan pula bahwa tidak layak lagi, undang-undang dibuat untuk kita tanpa kita.[21]
Sarekat Islam meski bersikap tidak frontal, namun tetap berdiri tegak membela rakyat pribumi di tanah air. Mereka tetap tajam mengkritik praktek-praktek keji kolonialisme, mulai dari urusan kesejahteraan, ekonomi, nasib kaum buruh, hingga menentang kristenisasi di tanah air.[22] Anggotanya mengikat seluruh lapisan masyarakat. Kaya hingga miskin. Pedagang, hingga priyai. Jurnalis hingga ulama. Dan kepeduliannya tak disekat oleh belenggu suku atau etnis. Maka, bertolak dari kenyataan, kenyataan tersebut, amat layak jika kita kedepankan Sarekat Islam sebagai pelopor Kebangkitan Nasional Indonesia. Suatu gerakan merakyat, merentang luas,mengikat rakyat dalam satu ikatan, yaitu Islam.
Oleh : Beggy Rizkiyansyah – Penggiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
[1] Schreiner, Klaus H. 2002. ‘National
Ancestors’: The Ritual Construction of Nationhood dalam Potent Dead:
Ancestors, Saints and Heroes in Contemporary Indonesia. Honolulu: University of Hawaii Press.
[2] Rambe, Safrizal. 2008. Sarekat Islam: Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-1942. Jakarta: Yayasan Insan Cendikia.
[3] Laffan, Michael Francis. 2003. Islamic Nationhood And Colonial Indonesia. New York: Reoutledge Curzon
[4] Nagazumi, Akira. 1989. Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti-KITLV
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] Ibid
[10] Ibid
[11] Rambe, Safrizal. 2008.
[12] Jaylani, Timur. 1959. Sarekat Islam: Its Contribution to Indonesian Nationalism. Tesis tidak diterbitkan untuk Institute Islamic Studies, McGill University, Montreal, Canada.
[13] Rambe, Safrizal. 2008.
[14] Jaylani, Timur. 1959.
[15] Ibid
[16] Rambe, Safrizal. 2008.
[17] Ibid
[18] Korver, A.P.E. 1985. Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil? Jakarta: Grafiti Pers.
[19] Rambe, Safrizal. 2008.
[20] Ibid
[21] Korver, A.P.E. 1985.
[22] Melayu, Hasnul Arifin. 2000. Islam and Politics in the Thought of Tjokroaminoto.(1882-1934). Tesis tidak diterbitkan untuk Institute Islamic Studies, McGill University, Montreal, Canada.
Sabtu, 05 Desember 2015
ISLAMISASI TATAR SUNDA: PERSEPEKTIF SEJARAH DAN KEBUDAYAAN
Islamisasi Tatar Sunda: Perspektif Sejarah dan Kebudayaan
Oleh: Tiar Anwar Bachtiar, Ketua Umum PP Pemuda Persis / Doktor Sejarah FIB UI
Tatar Sunda adalah wilayah tempat bermukimnya suku Sunda. Tatar Sunda
umumnya disamakan dengan daerah Jawa Barat. Sebelum daerah Jawa bagian
barat terpecah menjadi provinsi Banten, Jakarta, dan Jawa Barat seluruh
wilayah ini dianggap sebagai bagian dari etnik Sunda. Oleh sebab itu,
ketika membicarakan sejarah Sunda, selalu saja Cirebon, Banten, dan
Jakarta menjadi wilayah yang dianggap menjadi bagian dari Sunda. Akan
tetapi, kini Jakarta diklaim sebagai tempat bermukim etnik khusus
bernama “Betawi”, dan orang-orang Banten menganggap mereka bukan Sunda,
melainkan “Banten”. Sebentar lagi, Cirebon ingin berpisah dari Jawa
Barat karena mereka merasa bukan “Sunda”. Mereka adalah etnik
tersendiri.
Sesungguhnya, kalau yang dilihat adalah perbedaan-perbedaan, tentu akan
semakin banyak wilayah yang ingin membentuk provinsi sendiri karena
alasan etnisitas seperti kasus Banten dan Cirebon. Akan tetapi, itu
tidak berarti bahwa sungguh-sungguh Banten, Cirebon, dan Betawi
benar-benar bukan bagian dari “Tatar Sunda”, karena pada kenyataannya,
pada wilayah-wilayah itulah populasi masyarakat Sunda tersebar. Oleh
sebab itu, bila berbicara “Tatar Sunda” dalam sejarah, tentu
wilayah-wilayah itu tetap merupakan bagian di dalamnya.
Sama seperti etnis Jawa yang umumnya berdiam di wilayah Jawa bagian
tengah dan timur, etnis Sunda pun mengalami proses sejarah yang panjang
yang umumnya tidak terlampau berbeda dengan yang dialami oleh etnis
Jawa. Salah satu fase sejarah yang paling penting adalah proses
Islamisasi. Proses ini, sampai saat ini merupakan proses yang memberikan
kesan paling penting dam mendalam bagi masyarakat Sunda. Paling tidak,
secara nominal, mayoritas suku Sunda menganut Islam. Islam bahkan hampir
menjadi bagian dari identitas kesundaan. Dengan kata lain, kalau tidak
Islam, agak aneh bahwa dia adalah orang Sunda, sekalipun pada
kenyataannya ada saja orang Sunda yang tidak Islam.
Membicarakan Sunda dengan Islam tentu menjadi semakin menarik apabila
pendekatan yang dipakai adalah kebudayaan. Islam sebagai agama yang
berwatak membentuk peradaban, tantu yang akan paling terlihat dampaknya
dari keberadaan Islam adalah basis dari peradaban itu sendiri, yaitu
kebudayaan. Sejarah proses Islamisasi menjadi semakin dapat dimengerti
dengan baik apabila yang dipertimbangkan adalah faktor kebudayaan ini.
Tulisan berikut ini akan secara singkat memotret Islamisasi Masyarakat
Sunda dari sudut pandang sejarah dan kebudayaan.
A. ISLAMISASI TATAR SUNDA DALAM SEJARAH
Sudah menjadi kebiasaan dalam historiografi kolonial bahwa Islamisasi
akan dibenturkan dengan pertahanan adat masyarakat lokal. Umpamanya
ketika sejarawan-sejarawan kolonial menceritakan proses Islamisasi di
wilayah kebudayaan Jawa. Islamisasi yang sesungguhnya adalah proses
kebudayaan kemudian digambarkan dengan pristiwa-peristiwa politik.
Jadilah kemudian perang antara Demak dengan Majapahit (1526 M) sebagai
diartikan perang antara Islam dengan Hindu; atau Islam dengan kebudayaan
Jawa. Dalam hal ini, Demak disimbolkan sebagai wakil tradisi Islam
sementara Majapahit disimbolkan sebagai wakil kebudayaan Jawa.
Bila melihat hubungan antara Islam dengan kebudayaan setempat seperti
demikian, maka akan dapat disimpulkan bahwa Islam datang untuk
menghancurkan “kebudayaan” masyarakat setempat. Padahal, sejatinya
proses Islamisasi di Indonesia, apalagi menyangkut kebudayaan, pada
umumnya merupakan proses yang damai, normal, dan wajar tanpa kekerasan.
Orang dengan sukarela menjadi Islam atau tidak. Sementara persoalan
politik sesungguhnya lebih banyak berkaitan dengan kepentingan
kekuasaan, daripada dengan kepentingan mempertahankan kebudayaan.
Hal yang sama juga akan ditemukan saat menceritakan hubungan antara
Sunda dengan Islam. Hubungan ini, dalam sejarah selalu dikaitkan dengan
ingatan perang antara Maulana Hasanudin dari Banten dengan kerajaan
Sunda di bawah pimpinan Ratu Samiam tahun 1579 yang berakhir dengan
hancurnya kerajaan Sunda. Perang ini seolah memberikan pertanda bahwa
Islam dengan Sunda adalah seteru, sesuatu yang tidak dapat dipersatukan.
Padahal, dalam ingatan budaya masyarakat Sunda, perang tersebut sudah
tidak pernah lagi menjadi bagian yang penting untuk dijadikan identitas.
Artinya, bagi mereka kejadian itu tidak dianggap sebagai sesuatu yang
penting dalam proses Islamisasi yang mereka alami. Bahkan dalam alam
pikiran masyarakat Sunda—sebagaimana nanati akan dijelaskan—sejarah
Islamisasi yang mereka alami tidak pernah dikaitkan dengan permusuhan
terhadap kelompok manapun.
Dalam catatan sejarah, Islam datang ke Tatar Sunda seiring dengan
datangnya Islam ke Tanah Jawa pada umumnya. Sama seperti di wilayah Jawa
yang lain, puncak keberhasilan dakwah Islam adalah pada masa Wali
Songo. Di Tatar Sunda, anggota Wali Songo yang menjadi penyebar Islam
tersohor, bahkan sampai berhasil mendirikan kerajaan Islam di Cirebon
dan Banten adalah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Namun
demikian, Sunan Gunung Jati bukan orang pertama yang membawa Islam.
Dalam sumber-sumber lokal-tradisional dipercayai bahwa orang yang
pertama kali memeluk dan menyebarkan Islam di Tatar Sunda adalah
Bratalegawa. Bratalegawa adalah putra kedua Prabu Guru Pangandiparamarta
Jayadewabrata atau Sang Bunisora, penguasa Kerajaan Galuh. Ia memilih
hidupnya sebagai saudagar besar. Karena posisinya itu, ia tebiasa
berlayar ke Sumatera, Cina, India, Srilangka, Iran, sampai ke negeri
Arab. Ia menikah dengan seorang Muslimah dari Gujarat bernama Farhana
binti Muhammad. Melalui pernikahan ini, Bratalegawa memeluk Islam,
kemudian menunaikan ibadah haji dan mendapat julukan Haji Baharudin.
Sebagai orang yang pertama kali menunaikan ibadah haji di kerajaannya,
ia dikenal dengan sebutan Haji Purwa. Ia kemudian menetap di Ciberon
Girang yang saat itu berada di bawah kekuasaan Galuh.
Bila cerita ini menjadi patokan, dapat disimpulkan bahwa Islam pertama
kali dibawa ke Tatar Sunda oleh pedagang dan pada tahap awal belum
banyak pendukungnya karena masih terlampau kuatnya pengaruh Hindu.
Sementara kala waktunya, bila dikaitkan dengan penguasa Kerajaan Galuh
Sang Bunisora yang berkuasa selama 14 tahun dari tahun 1357 hingga 1371
M, maka dapat kita ketahui bahwa peristiwa Bratalegawa atau Haji Purwa
di atas terjadi sekitar abad ke-14.
Ada pula naskah tradisional lain yang menyebutkan cerita tentang Syekh
Nurjati dari Persia. Ia adalah ulama yang datang pada sekitar abad ke-14
bersama 12 orang muridnya untuk menyebarkan Islam di daerah jawa Barat.
Atas izin penguasa pelabuhan tempat ia mendarat, ia diperbolehkan
menetap di Muarajati (dekat Cirebon) dan mendirikan pesantren di sana.
Kisah ini terdapat dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari.
Dalam Babad Cirebon, kisah perintis penyebaran Islam hampir mirip dengan
cerita Bratalegawa. Hanya saja, tokohnya kali ini adalah Pangeran
Walang Sungsang yang dikenal juga dengan nama Ki Samadullah, Ki
Cakrabumi, atau Syekh Abdul Iman. Ia adalah anak penguasa Pajajaran
Prabu Siliwangi dari istrinya Nyai Subang Larang. Hanya saja, ceritanya
kemudian bercampur dengan mitos bertemunya Walangsungsang dengan nabi
Muhammad Saw., padahal secara historis terjadi perbedaan zaman yang
cukup jauh. Di daerang Priangan tokoh anak Prabu Siliwangi yang
dipercaya menyebarkan Islam di Tanah Sunda adalah Kean Santang, dengan
cerita yang hampir sama.
Ada lagi kisah tentang ulama yang datang dari Campa (sekitar Vietnam)
bernama Syekh Quro. Ia singgah di Karawang bersama-sama dengan kapal
Laksamana Cheng Ho. Sementara Cheng Ho melanjutkan misinya, Syekh Quro
memilih tinggal di Karawang dan menikah dengan Ratna Sondari putra
penguasa Karawang. Ia diizinkan untuk mendirikan pesantren hingga ia
dapat menyebarluaskan ajaran Islam secara lebih leluasa.
Sumber-sumber tradisional ini, sekalipun dalam perspektif sejarawan
Barat dianggap sebagai sumber yang tidak otoritatif, namun untuk tidak
dipercayai secara keseluruhan pun bukan perkara yang tepat. Oleh sebab
itu, sebagai informasi permulaan apa yang ditulis dalam sumber-sumber
tradisional di atas patut dipertimbangkan.
Bila sumber-sumber ini kita pegang, dapat disimpulkan bahwa Islam telah
datang ke Tatar Sunda sejak abad ke-12 atau ke-13. Akan tetapi,
sebagaimana umumnya pengembangan agama secara damai, tersebarnya Islam
untuk sampai menjadi anutan mayoritas membutuhkan waktu yang tidak
sedikit. Oleh sebab itu, bila pada abad ke-16, Kerajaan Sunda runtuh,
bukan berarti bahwa Islam yang menghancurkannya. Kehancuran Kerajaan
Sunda adalah karena kekuatannya secara politik semakin merosot sehingga
mudah untuk dihancurkan. Hanya saja, saat itu yang berhadap-hadapan
dengan Kerajaan Sunda adalah Kerajaan Banten sehingga banyak yang secara
simplisistik menyebutkan bahwa hancurnya simbol “kasundaan” adalah
ketika Islam datang. Artinya, peristiwa politik antara Banten dengan
Pajajaran harus dilihat dalam konteks perebutan supremasi politik yang
tidak selalu harus berkaitan dengan masalah keyakinan, terutama dalam
konteks Islamisasi di Tatar Sunda.
Islamisasi di Tatar Sunda sendiri berlangsung secara laten jauh sebelum
terjadi berbagai konflik politik antara Kerajaan Islam Cirebon dan
Banten dengan Kerajaan Pajajaran. Menurut Hasan Mu’arif Ambary,
Islamisasi di Nusantara, termasuk di Tatar Sunda melalui tahap-tahap
yang hampir seragam, yaitu: pertama, adanya kontak antara masyarakat
Nusantara dengan para pedagang, pelaut, atau musafir dari berbagai
belahan dunia seperti China, Arab, India, Asia Tenggara, Persia, dan
sebagainya. Periode ini, berlangsung antara abad ke-7 hingga abad ke-11.
Kontak pergadangan ini menjadi argumentasi awal atas kemungkinan
bertemunya masyarakat Nusantara dengan para pedagang Muslim dari
negara-negara Islam.
Kedua, adanya kontak perdagangan internasional di atas, telah membuka
kesempatan kepada penduduk Nusantara untuk mengadakan kontak secara
khusus dengan para pedagang Muslim. Kontak inilah yang mula-mula
memperkenalkan memperkenalkan Islam ke wilayah Nusantara. Sebagian
penduduk Nusantara sudah mulai ada yang tertarik untuk mempelajarinya,
tidak terkecuali di Tatar Sunda yang sebagian wilayah meliputi juga
wilayah pesisir seperti Banten (temasuk Jakarta) dan Cirebon yang pada
umumnya menjadi tujuan utama para pedagang internasional. Oleh sebab
itu, tidak mengherankan apabila pusat persebaran Islam yang pertama
muncul di daerah pesisir Cirebon. Akan tetapi, tidak ada informasi
sejarah tentang kontak awal Islam di wilayah Tatar Sunda ini sebelum
abad ke-14. Hanya saja, kalau mengikuti logika sejarah tentang
Bratalegawa yang anak penguasa dan saudagar, dugaan bahwa jauh sebelum
abad ke-14 komunitas Muslim dari berbagai belahan dunia sudah memiliki
kontak dengan masyarakat di Tatar Sunda bisa jadi benar. Tentu saja ini
perlu pembuktian lebih lanjut melalui penelusuran bukti-bukti sejarah
baru dari wilayah Tatar Sunda yang sampai saat ini masih terbatas.
Ketiga, tumbuhnya komunitas Islam di Nusantara, baik di wilayah pesisir
maupun pedalaman. Fase ini berlangsung antara abad ke-11 hingga abad
ke-13 Masehi. Di beberapa wilayah pesisir Sumatera, pada fase ini bahkan
sudah muncul beberapa kerajaan Islam awal. Sementara di Tatar Sunda
sendiri, seperti sudah dijelaskan di atas, kemungkinan besar sudah
muncul komunitas Muslim di wilayah pesisir utara Jawa Barat (Cirebon,
Karawang, dan sekitarnya). Bila nama-nama seperti Syekh Quro dan lainnya
sudah muncul, berarti sudah tumbuh komunitas Muslim di sana. Bahkan
bila merujuk kepada mitos tentang Kean Santang, anak Prabu Siliwangi,
yang masuk Islam, komunitas Muslim di Tatar Sunda besar kemungkinan
sudah masuk pula ke pusat-pusat kekuasaan Kerajaan Sunda Pajajaran.
Keempat, pelembagaan Islam yang ditandai tumbuhnya pusat-pusat kekuatan
politik dan kesultanan Islam di Nusantara yang terjadi pada antara abad
ke-13 hingga abad ke-16 Masehi. Di Tatar Sunda pada periode ini sudah
muncul Islam yang paling penting, yaitu Cirebon dan Banten. Ini menandai
puncak penyebaran Islam di kawasan ini. Saat kerajaan Cirebon muncul,
kerajaan Sunda sampai pada masa kehancurannya karena berbagai faktor
eksternal dan internal. Pada masa ini, kerajaan-kerajaan Islam pun sudah
berhadapan dengan kekuatan kolonialisme Eropa.
Kelima, surutnya kharisma dan kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam berganti
dengan munculnya dominasi ekonomi, politik, dan militer Eropa. Pada
masa ini mulai ada usaha de-Islamisasi yang dilakukan oleh Belanda
melalui berbagai gerakan, baik sosial, politik, maupun kebudayaan.
Gerakan de-Islamisasi politik dilakukan dengan cara tidak memberlakukan
kembali sistem perundangan berdasarkan syari’at Islam yang digunakan
oleh kerajaan-kerajaan Islam, termasuk di Banten dan Cirebon. Secara
sosial, usaha-usaha Kristenisasi sampai pada taraf tertentu dilakukan
sangat agresif di wilayah-wilayah mayoritas Islam. Melalui kebudayaan,
timbul usaha-usaha untuk memisahkan Islam dari kebudayaan lokal.
Kebudayaan yang hidup di tengah masyarakat Sunda, dengan dalih
“melestarikan” budaya, sebisanya dibentur-benturkan dengan ke-Islam-an
yang dianut mayoritas msyarakat Sunda. Sekalipun kelihatannya untuk
kasus Sunda masih relatif sulit untuk sampai ke sana sebagaimana akan
dijelaskan pada sub bab berikut ini.
2. ISLAMISASI SUNDA PERSPEKTIF KEBUDAYAAN
Bila dalam konteks sejarah, jejak Islamisasi Sunda secara tertulis agak
sulit didapatkan karena data-data sejarah yang terbatas, justru saat ini
artefak-artefak kebudayaan Sunda amat melimpah. Artefak kebudayaan itu
dapat disaksikan dari artefak-artefak berupa bangunan fisik, perilaku
dan adat-istiadat urang Sunda, dan warisan sastra yang cukup melimpah.
Artefak tersebut sebagian besar tentu berakar dari zaman yang dekat.
Sebagian kecil berusia sampai ratusan tahun ke belakang.
Artefak dan perilaku budaya merupakan salah satu tanda (sign) tentang
adanya suatu pemikiran tertentu yang sangat mungkin dipengaruhi oleh
kepercayaan tertentu pula. Islamisasi yang merupakan proses mental dan
pemikiran, tentu akan amat berkait dengan artefak dan perilaku budaya
ini. Oleh sebab itu, analisis terhadap kebudayaan Sunda akan dapat lebih
mendekatkan kita kepada intensitas Islamisasi di Tatar Pasundan.
Analisis ini juga akan sangat membantu kelemahan yang ditinggalkan
analisis kesejarahan yang sampai saat ini masih terus harus berjuang
mengumpulkan sumber-sumber yang banyak.
1. Mitos Islamisasi Urang Sunda
Analisis pertama akan kita lihat bagaimana sikap orang Sunda terhadap
ajaran Islam yang dianutnya. Suatu sikap masyarakat terhadap sesuatu
terkadang dapat ditunjukkan oleh mitos apa yang hidup dan dipercayai
masyarakat. Mitos bukan hanya sekadar dongeng dan khayalan, melainkan
kisah (sekalipun khayalan) yang menjadi kepercayaan suatu masyarakat.
Mitos memang tidak memiliki fakta yang jelas dan bisa dibuktikan
sehingga mitos selalu menjadi antonim dari “ilmu pengetahuan” (sciences)
dan “kenyataan” (reality). Sekalipun sama-sama merupakan cerita tidak
berdasar, mitos dibedakan dari legenda dan karangan fiksi. Legenda dan
ceriata fiksi lain sudah disadari sejak semua sebagai cerita yang tidak
berdasar. Sedangkan mitos, secara tidak sadar dipercayai sebagai suatu
realitas yang nyata bagi orang yang mempercayainya sehingga berpengaruh
pada perilakunya.
Walaupun apa yang diceritakan dalam mitos tidak memiliki kebenaran (have
no truth) secara ceritanya, tapi justru adalah sebuah kenyataan bahwa
mitos “dipercayai oleh masyarakat yang mempercayainya”. Oleh sebab itu,
objektivikasi mitos bukan pada “kisah”-nya, melainkan pada “sikap
mental” masyarakat atau orang yang mempercayainya. Mitos yang berkembang
pada suatu masyarakat dapat digunakan sebagai alat analisis untuk
melihat bagaimana sikap mental masyarakat terhadap sesuatu yang menjadi
fokus dari kisah mitos itu. Salah satunya, untuk memahami bagaimana
urang Sunda memaknai Islam yang dianutnya dapat kita pahami dengan baik
salah satu mitos paling populer mengenai Islamisasi tatar Sunda.
Mengenai Islamisasi Tatar Sunda, mitos yang paling populer adalah
mengenai Kean Santang. Secara singkat, mitos tentang Kean Santang adalah
sebagai berikut.
Kean Santang bernama asli Gagak Lumayung. Ia merupakan anak dari Prabu
Siliwangi, Raja Pajajaran, yang juga panglima besar Pajajaran yang tidak
pernah dikalahkan oleh siapa pun di seluruh Jawa. Ia tidak pernah
terluka meskipun telah mengarungi banyak pertempuran. Inilah sebabnya,
dalam wawacan disebutkan, ia belum pernah melihat darahnya sendiri.
Untuk itu, ia berpamitan kepada ayahandanya, Prabu Siliwangi, untuk
bertapa mencari petunjuk bagaimana ia dapat melihat darahnya sendiri.
Kean Santang pernah mendengar adanya orang yang amat sakti di Mekah,
bernama Baginda Ali. Tetapi ia tidak mengetahui di mana Mekah itu.
Dalam pertapaannya ia mendapatkan petunjuk untuk mengganti namanya
menjadi Garantang Setra. Dengan ilmu tapak kancang atau berjalan di atas
air, Kean Santang menuju arah barat. Sampailah ia di Mekah. Ia bertemu
dengan Baginda Ali yang menyamar menjadi orang tua. Baginda Ali kemudian
memberikan ujian pertama kepada Kean Santang, yaitu mengambil sisirnya
yang tertinggal. Kean Santang berhasil menemukan sisir itu, namun ketika
mau diambil, sisir itu masuk ke dalam tanah. Kean Santang tak berhasil
memegangnya. Bginda Ali menasihati agar Kean Santang mengucapkan
Basmalah. Sisir dapat diambil.
Kean Santang diajak Baginda Ali untuk ikut mendirikan tiang masjid di
Mekah. Di sinilah ia bertemu dengan Nabi. Kean Santang masuk Islam dan
diberi nama Sunan Rahmat. Ia ingin tetap berada di Mekah, tetapi
Rasulullah mengangkatnya sebagai Wali untuk mengislamkan pulau Jawa.Nabi
menyuruh Kean Santang mengucapkan Kalimah kalih (syahâdatain) sambil
memejamkan mata, maka tiba-tiba ia sudah sampai di tanah Jawa, bahkan di
Pakuan.
Kean Santang alias Sunan Rahmat alias Sunan Bidayah menghadap
ayahandanya Prabu Siliwangi dan memintanya untuk masuk Islam. Tetapi
raja Pajajaran ini menolak. Juga ketika Kean Santang menunjukkan dirinya
sebagai wawakil Nabi untuk mengislamkan Pajajaran di atas materai batu
datar dengan huruf Jawa. Namun demikian, Prabu Siliwangi tidak
menghalangi atau melarang anaknya untuk menyebarkan Islam. Untuk
menghindari konflik kepentingan dengan anaknya, akhirnya Prabu Siliwangi
memilih untuk melenyapkan diri (ngahiyang), keratin Pakuan Pajajaran ia
ubah menjadi hutan rimba. Sementara Para raja yang lain, para menteri,
dan para bupati berubah menjadi harimau dan menghuni hutan Sancang.
Kean Santang berkeliling Tatar Sunda mengislamkan masyarakat dari satu
kampung ke kampung lain. Pada mulanya di Tegal Leles Cipancar, kean
santang mengkhitan seorang penduduk ketika masuk Islam, namun karena
belum tahu bagaimana mengkhitan, penduduk kampong tersebut meninggal
dunia akibat dipiting seluruh kemaluannya. Kean Santang kemudian
menghadap kembali Nabi dan diajari bagaimana mengkhitan orang.
Setelah mengislamkan seluruh Tatar Sunda, Kean Santang menghadap lagi
Nabi dan memohon untuk menetap di Mekah. Namun, Nabi tidak
mengizinkannya dan tetap memberinya tugas sebagai wali di Pulau Jawa.
Cerita (wawacan) seperti di atas tersebar hampir di seluruh wilayah di
Tatar Sunda dengan cerita yang kadang-kadang tidak selalu sama. Kalau
nama Kean Santang dikenal di daerah Priangan, di Cirebon dan sekitarnya
tokoh Kean Santang ini dikenal dalam Babad Cirebon sebagai Pangeran
Walangsungsang. Selain namanya yang berbeda, hampir semua ceritanya,
terutama mengenai pertemuan dengan Nabi, tidak terlalu berbeda.
Sekalipun berbeda nama penyebar Islam, namun dalam semua cerita bahwa
tokoh itu adalah anak Prabu Siliwangi.
Menarik bahwa proses Islamisasi dalam mitos yang hidup di kalangan
masyarakat Sunda semuanya dikaitkan dengan Prabu Siliwangi. Prabu
Siliwangi adalah tokoh yang juga hanya hidup dalam mitos masyarakat
Sunda. Ia dianggap sebagai raja Sunda yang paling adil, bijaksana, dan
sekaligus menjadi raja Sunda terakhir sebelum datangnya Islam. Karena
keadilannya itu, Prabu Siliwangi menjadi legenda masyarakat Sunda. Namun
siapakah Raja Sunda yang disebut-sebut sebagai Siliwangi itu? Tidak ada
kata sepakat di kalangan para peneliti. Ada banyak versi mengenai sosok
Prabu Siliwangi ini.
Mengenai siapa Prabu Siliwangi ini Edi S. Ekadjati menyimpulkan bahwa
dimungkinkan yang dimaksud adalah Raja Niskala Wastukancana (1371-1475)
yang berkedudukan di keraton Surawisesa di ibu kota Kawali (Galuh) atau
Raja Sri Baduga Maharaja (1482-1521) yang berkedudukan di keraton Sri
Bima Punta Narayana Madura Suradipati di ibukota Pakuan (Pajajaran);
atau bisa juga yang dimaksud adalah keduanya. Keduanya merupakan
raja-raja Sunda yang berhasil membawa kerajaan Sunda ke puncak
kejayaannya hingga dikenang oleh masyarakat Sunda. Walaupun secara
historis tidak ditemukan raja Sunda benama, bergelar, atau berjuluk
Siliwangi, masyarakat Sunda pada umumnya percaa bahwa tokoh ini
sungguh-sungguh merupakan tokoh historis kebanggaan masyarakat Sunda.
Bagi sebagian kalangan, tokoh Siliwangi ini bukanlah kedua orang di
atas, melainkan tokoh yang benar-benar ada sebagai “Siliwangi” sekalipun
tidak bisa dibuktikan secara historis keberadaannya.
Begitu melegendanya Prabu Siliwangi, sampai-sampai proses Islamisasi
Tatar Sunda, dalam kepercayaan masyarakat Sunda pun harus dikaitkan
dengan tokoh ini. Dengan mengaitkannya pada Prabu Siliwangi, masyarakat
Sunda ingin menunjukkan bahwa keberadaan Islam pun sama pentingnya
dengan keberadaan Prabu Siliwangi. Bahkan dalam kisah lain ada yang
mempercayai bahwa Prabu Siliwangi inilah yang pertama masuk Islam dan
menyebarkannya kepada masyarakat Sunda, bukan anaknya Kean Santang atau
Walangsungsang.
Bagaimanapun dan siapapun Prabu Siliwangi adanya, cerita mengenai
Islamisasi tanah Sunda yang dikaitkan dengannya seperti terkandung dalam
cerita di atas menunjukkan kepada kita beberapa hal. Pertama, secara
kebudayaan urang Sunda merasa bahwa menjadi Islam adalah suatu keharusan
disebabkan ini merupakan “amanat” sang Prabu Siliwangi yang mereka
hormati melalui anaknya Kean Santang. Ngahiyang-nya Prabu Siliwangi
menandakan bahwa kepercayaan sebelum datangnya Islam sudah benar-benar
hilang dibawa bersama hilangnya Prabu Siliwangi yang tidak meninggalkan
jejak dan bekas apapun kecuali alam yang kembali pada asalnya (hutan
belantara) sebagai pertanda bahwa ajaran yang dibawa Prabu Siliwangi pun
sudah kembali ke asalnya, tanpa meninggalkan bekas apapun.
Kedua, kisah Islamisasi dalam mitos urang Sunda di atas pun ingin
menunjukkan bahwa Islam datang ke wilayah ini secara damai. Tidak ada
perang dan pertumpahan darah. Saat anaknya memutuskan untuk memeluk dan
menyebarkan Islam, sang ayah memutuskan untuk tidak terlibat dalam
proses sejarah yang akan menyebabkan konflik dengan cara ngahiyang.
Proses “ngahiyang” dalam konsep Hindu sebanding dengan moksa. Dengan
ngahiyang-nya Prabu Siliwangi yang merupakan puncak tujuan kehidupan
dalam keyakinan Hindu, posisi Prabu Siliwangi yang Hindu ditempatkan
pada posisinya yang paling terhormat.Ia tetap dihormati, sekalipun
memilih untuk tidak masuk Islam. Kalau kisah mengenai ke-Islaman Prabu
Siliwangi juga dipercayai oleh masyarakat Sunda, proses Islamisasi
menunjukkan prosesnya yang lebih damai lagi. Dalam versi cerita ini,
Islam bahkan dianut oleh sosok yang sangat dihormati masyarakat Sunda.
Secara hostoris sesungguhnya sempat tercatat konflik berdarah antara
Raja Samiam (Raja Sunda-Pajajaran terakhir) dengan Maulana Yusuf dari
Kasultanan Banten tahun 1579 M yang mengakhiri supremasi kerajaan
Pajajaran di Tatar Sunda. Akan tetapi, cerita ini hanya ditemukan dalam
catatan sejarah Sunda-Banten. Dalam tradisi masyarakat, baik di Banten
maupun di Priangan dan Cirebon, kisah ini tidak hidup. Ini menandakan
bahwa perang di antara kedua kerajaan itu, bagi masyarakat dipandang
hanya sekadar konflik politik biasa yang tidak berhubungan dengan
keyakinan mereka. Oleh sebab itu, tradisi yang hidup tetap tentang
proses penyebaran Islam yang damai.
Ketiga, melalui mitos ini urang Sunda ingin meyakinkan bahwa Islam yang
datang pada mereka adalah Islam yang asli berasal dari pembawanya, yaitu
Nabi Muhammad Saw. Selain itu, mitos ini juga semacam pernyataan
mentalitas urang Sunda yang siap untuk menerima apa saja yang berasal
dari pembawa ajaran Islam, Nabi Muhammad Saw. Sikap mental semacam ini
menjadi penting dalam proses dakwah Islam di Tatar Sunda pada masa-masa
intensifikasinya yang ditandai dengan berdirinya berbagai lembaga
pendalaman Islam seperti mesjid dan pesantren di seluruh wilayah Tatar
Sunda. Karena merasa bahwa Islam yang dianut mereka berasal langsung
dari Nabi Saw., saat diperkenalkan sedikit demi sedikit ajaran-ajaran
Islam lebih lanjut, masyarakat Sunda cenderung lebih mudah menerimanya.
Demikian lebih kurang hal-hal yang bisa ditafsirkan dari mitos Kean
Santang yang tersebar di masyarakat Sunda. Mitos tetaplah mitos. Dia
bukan merupakan fakta sejarah. Namun, ketika mitos itu dihubungkan
dengan realitas historis, mitos ini menunjukkan adanya kesadaran sejarah
tertentu—seperti yang dijelaskan di atas—yang melekat dalam diri
masyarakat pendukungnya yang dalam hal ini masyarakat Sunda. Secara
kebudayaan, fakta ini menunjukkan mengenai bagaimana sikap urang Sunda
terhadap Islam yang datang setelah sebelumnya mereka mengenal ajaran
animism-dinamisme dan Hindu-Budha. Sikap inilah yang dapat membuka
pemahaman kita mengenai mengapa urang Sunda menjadikan sebagian
identitasnya adalah Islam hingga muncul istilah “Islam teh Sunda; Sunda
teh Islam”(Islam itu Sunda; Sunda itu Islam).
2. Falsafah Hidup Urang Sunda
Bila mitos di atas dapat berguna untuk menjelaskan bagaimana pada tahap
awal urang Sunda dapat menerima Islam, maka penjelasan mengenai falsafah
hidup jurang Sunda saat ini penting untuk memahami betapa intensifnya
hubungan Islam dan Sunda hingga saat ini. Apabila falsafah hidup yang
dianut ternyata mendapat pengaruh kuat dari Islam, maka hampir dapat
dipastikan bahwa Islam telah meresap menjadi bagian tak terpisahkan dari
kebudayaan masyarakat Sunda. Inilah yang akan digali pada bagian ini.
Menggali falsafah hidup tentu saja harus diambil dari keseharian
kehidupan masyarakat Sunda. Jejak-jejak budaya yang hidup
sehari-hari-lah yang akan memberikan banyak informasi mengenai bagaimana
urang Sunda mendefinisikan kehidupannya dan bagaimana mereka harus
menjalaninya. Salah satu jejak budaya yang cukup representatif untuk
menggambarkan mengenai falsafah hidup yang dianut urang Sunda adalah
warisan peribahasa dan pepatah yang hidup di tengah masyarakat. Dalam
bahasa Sunda yang demikian disebut paribasa dan babasan.
Di balik peribahasa dan pepatah itu tentu tersimpan suatu pandangan
hidup tertentu (worldview). Pandangan hidup inilah yang menjadi kerangka
dasar masyarakat yang bersangkutan melihat dan menafsirkan berbagai
realitas yang dihadapinya. Di sini pula dengan segera akan ditemukan
sejauh mana Islam berpengaruh membentuk pandangan hidup masyarakat
Sunda.
Berkait dengan peribahasa, ada dua buku penting yang dapat dijadikan
rujukan, yaitu buku Mas Natawisastra berjudul Saratus Paribasa jeung
Babasan (cet. I thn. 1914; cet. II 1978) terdiri atas lima jilid. Buku
lainnya ditulis Samsoedi Babasan jeung Paribasa Sunda yang terbit tahun
1950-an. Dalam kedua buku tersebut termuat lebih dari 500 peribahasa
Sunda. Seluruhnya mewakili apa yang berkembang di tengah masyarakat
Sunda.
Menurut Ajip Rosidi, dari lebih 500 peribahasa, yang secara langsung
kosakatanya meminjam peristilahan Islam hanya ada sekitar 16 peribahasa.
Sisanya tidak meminjam peristilahan khusus Islam. Di antara babasan
yang ada kaitan langsung dengan Islam antara lain: Kokoro manggih Mulud,
puasa manggih Lebaran (Orang melarat bertemu perayaan Maulid Nabi, yang
berpuasa bertemu dengan Lebaran), Jauh ke bedug (Jauh ke suara bedug di
mesjid), dan sebagainya. Sementara peribahasa lain umumnya menggunakan
peristilahan yang umum dalam masyarakat Sunda dan tidak kaitannya secara
langsung dengan Islam contohnya antara lain: cul dog-dog tinggal igel
(menari tanpa diiringi lagi musik pengiring), kandel kulit beungeut
(tebal kulit muka), dan sebagainya.
Berdasarkan bacaan Rosidi, sekalipun peribahasa dan pepatah yang dibuat
tidak secara langsung menyerap istilah yang ada kaitan dengan
kebiadayaan Islam seperti tajug (mesjid), mulud (perayaan Maulid Nabi),
lebaran, puasa, dan semisalnya bukan berarti makna yang terkandung di
dalamnya juga tidak ada kaitan dengan Islam. Justru setelah keseluruhan
pepatah dibaca dan beberapa sampel pepatah dicontohkan, Rosidi
menyimpulkan:
Dengan demikian walaupun jumlah peribahasa yang tampak Islami tidak
banyak, namun kalau diteliti lebih lanjut, kebanyakan peribahasa Sunda
ternyata mengandung nilai-nilai yang sesuai dengan ajaran Islam. Dengan
demikian, pendapat yang pernah dikemukakan oleh almarhum H. Endang
Saifudin Anshari, MA bahwa “Islam teh Sunda, Sunda teh Islam” tidaklah
bertentangan dengan hasil pengamatan terhadap peribahasa Sunda.
Dalam kesimpulannya Rosidi setuju dengan pendapat Endang Saefudin
Anshary bahwa sesungguhnya antara Islam dengan Sunda tidak dapat
dipisahkan. Kebudayaan yang hidup di tengah masyaraqkat Sunda adalah
kebudayaan yang telah mendapat sentuhan Islam sangat kuat hingga
ajaran-ajaran Islam, sekalipun tidak harus dieksplisitkan ayat dan
hadisnya, telah membentuk pandangan hidup masyarakat Sunda. Tentu saja
Sunda yang dimaksud adalah kebudayaan Sunda kontemporer yang telah
mengalami Islamisasi amat intensif.
Sebagai contoh, ada peribahasa dalam bahasa Sunda mun teu ngarah moal
ngarih, mun teu ngakal moal ngakeul, mun teu ngoprek moal nyapek (kalau
tidak berusaha takkan mungkin mengangi nasi, kalau tidak menggunakan
akal tak nanti menanak nasi, kalau tidak bekerja tidak akan mungkin bisa
makan). Perihabasa ini mencerminkan bagaimana orang Sunda mengajarkan
bahwa hidup harus dihadapi dengan usaha dan ikhtiar, tidak boleh
berpangku tangan. Sekalipun kata-kata yang digunakan tidak menggunakan
istilah Islam, namun pepatah ini amat sesuai dengan ajaran Islam yang
memerintahkan untuk berusaha dan berikhtiar.
Akan tetapi, dalam kenyataan keseharian kehidupan masyarakat Sunda, ada
saja adat yang kelihatannya tidak mencerminkan perilaku yang dipengaruhi
Islam. Bisa jadi adat tersebut maih dipengaruhi oleh ajaran-ajaran
pra-Islam. Hal demikian adalah wajar mengingat proses Islamisasi adalah
proses “menjadi” yang mungkin saja di satu tempat sudah berubah
sementara di tempat lain belum. Karya H. Hasan Mustapa, Adat Istiadat
Sunda. Dalam buku ini, Mustapa yang tokoh intelektual Muslim Sunda abad
ke-19, memberikan penjelasan mengenai berbagai adat kebiasaan yang
dikerjakan masyarakat Sunda mulai adat saat melahirkan, mengkhitan,
menikahkan, menanam, kematian, dan sebagainya.
Dalam penjelasannya Mustapa menunjukkan apa pengaruh dan falsafah yang
ada di balik kebiasaan itu. Ada adat yang memang berkenaan dengan
kepercayaan pra-Islam, ada pula yang sudah menunjukkan pengaruh ajaran
Islam. Sebagai seorang intelektual Muslim, Mustapa secara proporsional
menempatkan adat kebiasaan urang Sunda yang dituliskan dalam kerangka
pandangan hidupnya sebagai Muslim. Dari sisi sumber intelektual,
sebetulnya karya Mustapa ini juga sudah menunjukkan secara tidak
langsung bahwa tokoh-tokoh intelektual Sunda seperti dirinya pada abad
ke-19 sudah memiliki pengaruh yang kuat dari Islam. Ini berarti bahwa
Islam sudah menjadi salah satu referensi inetelektual yang penting
sehingga adat kebiasaan yang berlaku pun ditimbang dalam kerangka Islam.
Mengenai persoalan ada sebagian masyarakat yang lebih memegang adat
daripada pengajaran baru, di dalam falsafah masyarakat Sunda sendiri
sudah disadari sejak awal. Ini tercermin dari peribahasa kuat adat batan
warah (lebih kuat adat daripada pengajaran). Ini menunjukkan bahwa adat
bukanlah harga mati. Bisa jadi, dengan datangnya pengajaran baru adat
akan berubah. Namun seringkali orang yang sudah telanjur memagang adat
tidak dapat dengan mudah meninggalkan kebiasaan-kebiasaannya hanya
karena ada pengajaran baru.
3. KESIMPULAN
Memahami Islamisasi di Tatar Sunda hanya melalui pendekatan sejarah yang
konvensional segera dihadapkan pada kesulitan mendapatkan data mengenai
detail Islamisasi. Data-data historis hanya menyebutkan beberapa tokoh
dengan kiprah mereka yang terbatas. Bagaimana tokoh-tokoh tersebut
melakukan Islamisasi sulit dilacak. Hanya angka-angka tahun umum yang
didapat yang menunjukkan kapan Islamisasi secara intensif di Tatar Sunda
berlangsung, yaitu sekitar abad ke-15 dan ke-16 sejak masa Sunan gunung
Djati. Itu pun tidak lengkap. Melalui penggalian data-data baru secara
terus menerus masih terbuka kesempatan untuk semakin memperjelas proses
Islamisasi Tatar Sunda secara historis.
Walaupun tidak jelas secara historis, kenyataan bahwa ke-Islam-an dan
ke-Sunda-an hampir tidak dapat dipisahkan menunjukkan bahwa telah
terjadi proses Islamisasi yang sangat intensif di wilayah Jawa bagian
barat ini. Oleh sebab itu, diperlukan perangkat analisis lain untuk
menjelaskan bagaimana hal ini dimungkinkan terjadi. Pendekatan
kebudayaan dengan menganalisis teks-teks mitos dan pepatah-peribahasa
yang hidup untuk menggali makanya secara kebudayaan dapat membantu kita
memahami intensifnya Islamisasi di Tatar Sunda. Mitos-mitos menunjukkan
bahwa mentalitas masyarakat Sunda memang sudah sangat siap menerima
Islam hingga Islam mudah disebarkan di wilayah ini dan berakar sangat
dalam dalam kebudayaan masyarakat. Falsafah yang tercermin dalam
berbagai pepatah dan peribahasa urang Sunda menunjukkan betapa dalam
pengaruh Islam bagi kehidupan mereka.
Penerimaan yang baik terhadap Islam inilah yang menyebabkan Islam dengan
mudah tersebar ke seluruh pelosok Tatar Sunda. Hampir tidak ada wilayah
yang tidak tersentuh Islamisasi. Bahkan ke pedalaman Banten pun yang
sukunya Baduy Dalam mengaku beragama “Sunda Wiwitan” sebetulnya Islam
sudah sampai dan diterima di sana. Hanya saja, Islam yang sampai ke
Baduy baru ajaran dasarnya saja, yaitu syahadatain. Hal ini dapat
dilihat dari praktik ajaran Sunda Wiwitan yang mereka anut. Mereka
mengucapkan syahadatain yang sangat khas Islam. Mereka pun mengakui
bahwa sebetulnya mereka sudah menerima Islam, tetapi hanya kabagean
Sahadatna wungkul, hanya mendapatkan Sahadatnya saja, sedangkan
ketentuan lain seperti shalat, puasa, dan sebagainya tidak mereka
ketahui. Ini menandakan sudah ada usaha menyebarkan Islam ke kawasan
Baduy, hanya saja prosesnya terhenti entah karena alasan apa. Sangat
mungkin, faktor geografis yang tidak mudah dijangkau membuat proses
Islamisasi di wilayah ini tidak berlanjut.
Melihat kenyataan tentang Islamisasi yang intensif di wilayah ini, hal
lain yang harus menjadi catatan dan didalami lebih lanjut adalah
mengenai bagaimana para pendakwah Islam dapat menyebarkan Islam di
wilayah ini dengan baik. Tentu ada strategi khusus hingga apa yang
mereka bawa, sekalipun ajaran baru, dapat diterima dengan baik, damai,
dan tanpa gejolak. Dugaan sementara yang masih harus terus didalami,
para pendakwah Islam saat itu berhasil masuk ke dalam urat nadi
masyarakat Sunda melalui pendekatan budaya yang intensif, selain melalui
perdagangan dan politik seperti yang selama ini dipercayai oleh banyak
sarjana mengenai proses Islamisasi di Nusantara. Bukti yang paling
sementara ini paling meyakinkan adalah bertebarannya berbagai teks
sastra (wawacan) yang berisi ajaran-ajaran Islam. Biasanya teks-teks
wawacan itu akan menjadi bahan yang disampaikan kepada khalayak melalui
forum-forum kebudayaan yang hidup saat itu.
Saat ini masih ada budaya membaca wawacan yang tersisa seperti tradisi
Beluk dan Sawer dalam upacara pernikahan. Saat ini, kedua tradisi itu
bukan lagi merupakan praktik budaya yang berpengaruh bagi urang Sunda
modern. Akan tetapi, masih tersisanya tradisi melagukan wawacan
menandakan bahwa di masa lalu praktik budaya semacam itu cukup penting
sebagai media menyampaikan ajaran-ajaran tertentu, salah satunya ajaran
Islam. Kreativitas mengemas pesan-pesan dakwah melalui media budaya yang
hidup pada zamannya inilah yang diduga menjadi salah satu yang
menyebabkan Islam mudah diterima di kalangan masyarakat Sunda. Sekali
lagi, ini perlu pengkajian lebih lanjut. Wallâhu a’lam bi al-Shawwâb.
Sumber dan Daftar Pustaka : jejakislam.net
Jumat, 06 November 2015
Penelitian Tindakan Kelas - Tahapan PTK
Ada beberapa ahli yang mengemukakan model penelitian
tindakan kelas seperti dinyatakan sebelumnya, namun secara garis besar terdapat
empat tahapan yang lazim dilalui, yaitu tahap: (1) perencanaan, (2)
pelaksanaan, (3) pengamatan, dan (4) refleksi. Namun perlu diketahui bahwa
tahapan pelaksanaan dan pengamatan sesungguhnya dilakukan secara bersamaan.
Adapun model dan penjelasan untuk masing-masing tahap adalah sebagai berikut.
Tahap 1: Perencanaan
tindakan
Dalam tahap ini peneliti menjelaskan tentang apa, mengapa,
kapan, di mana, oleh siapa, dan bagaimana tindakan tersebut dilakukan.
Penelitian tindakan yang ideal sebetulnya dilakukan secara berpasangan antara
pihak yang melakukan tindakan dan pihak yang mengamati proses jalannya tindakan
(apabaila dilaksanakan secara kolaboratif). Cara ini dikatakan ideal karena
adanya upaya untuk mengurangi unsur subjektivitas pengamat serta mutu
kecermatan amatan yang dilakukan. Bila dilaksanakan sendiri oleh guru sebagai
peneliti maka instrumen pengamatan harus disiapkan disertai lembar catatan
lapangan. Yang perlu diingat bahwa pengamatan yang diarahkan pada diri sendiri
biasanya kurang teliti dibanding dengan pengamatan yang dilakukan terhadap
hal-hal yang berada di luar diri, karena adanya unsur subjektivitas yang berpengaruh,
yaitu cenderung mengunggulkan dirinya. Dalam pelaksanaan pembelajaran rencana
tindakan dalam rangka penelitian dituangkan dalam bentuk Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP).
Tahap 2: Pelaksanaan
Tindakan
Adalah pelaksanaan, yaitu implementasi atau penerapan isi
rencana tindakan di kelas yang diteliti. Hal yang perlu diingat adalah bahwa
dalam tahap 2 ini pelaksana guru harus ingat dan berusaha mentaati apa yang
sudah dirumuskan dalam rencana tindakan, tetapi harus pula berlaku wajar, tidak
kaku dan tidak dibuat-buat. Dalam refleksi, keterkaitan antara pelaksanaan
dengan perencanaan perlu diperhatikan.
Tahap 3: Pengamatan
terhadap tindakan
Yaitu kegiatan pengamatan yang
dilakukan oleh pengamat (baik oleh orang lain maupun guru sendiri). Seperti telah
dijelaskan sebelumnya bahwa kegiatan pengamatan ini tidak terpisah dengan
pelaksanaan tindakan karena pengamatan dilakukan pada waktu tindakan sedang
dilakukan. Jadi keduanya berlangsung dalam waktu yang sama. Sebutan tahap 2 dan
3 dimaksudkan untuk memberikan peluang kepada guru pelaksana yang berstatus
juga sebagai pengamat, yang mana ketika guru tersebut sedang melakukan tindakan
tentu tidak sempat menganalisis peristiwanya ketika sedang terjadi. Oleh karena
itu kepada guru pelaksana yang berstatus sebagai pengamat ini untuk melakukan
"pengamatan balik" terhadap apa yang terjadi ketika tindakan
berlangsung. Sambil melakukan pengamatan balik ini guru pelaksana mencatat
sedikit demi sedikit apa yang terjadi.
Tahap 4: Refleksi terhadap
tindakan
Merupakan
kegiatan untuk mengemukakan kembali apa yang sudah dilakukan. Istilah
"refleksi" dari kata bahasa Inggris reflection, yang diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia pemantulan. Kegiatan refleksi ini sebetulnya lebih tepat
dikenakan ketika guru pelaksana sudah selesai melakukan tindakan, kemudian
berhadapan dengan peneliti untuk mendiskusikan implementasi rancangan tindakan.
Inilah inti dari penelitian tindakan, yaitu ketika guru pelaku tindakan
mengatakan kepada peneliti pengamat tentang hal-hal yang dirasakan sudah
berjalan baik dn bagian mana yang belum. Apabila guru pelaksana juga berstatus
sebagai pengamat, maka refleksi dilakukan terhadap diri sendiri. Dengan kata
lain guru tersebut melihat dirinya kembali, melakukan "dialog" untuk
menemukan hal-hal yang sudah dirasakan memuaskan hati karena sudah sesuai
dengan rancangan dan mengenali hal-hal yang masih perlu diperbaiki. Dalam hal
seperti ini maka guru melakukan ”self evaluation” yang diharapkan dilakukan
secara obyektif. Untuk menjaga obyektifitas tersebut seringkali hasil refleksi
ini diperiksa ulang atau divalidasi oleh orang lain, misalnya guru/teman
sejawat yang diminta mengamati, ketua jurusan, kepala sekolah atau nara sumber
yang menguasai bidang tersebut. Jadi pada intinya kegiatan refleksi adalah
kegiatan evaluasi, analisis, pemaknaan, penjelasan, penyimpulan dan
identifikasi tindak lanjut dalam perencanaan siklus selanjutnya.
Keempat tahap dalam penelitian tindakan tersebut adalah unsur untuk membentuk sebuah siklus, yaitu satu putaran kegiatan beruntun, dari tahap penyusunan rancangan sampai dengan refleksi, yang tidak lain adalah evaluasi. Apabila dikaitkan dengan "bentuk tindakan" sebagaimana disebutkan dalam uraian ini, maka yang dimaksud dengan bentuk tindakan adalah siklus tersebut. Jadi bentuk penelitian tindakan tidak pernah merupakan kegiatan tunggal tetapi selalu berupa rangkaian kegiatan yang akan kembali ke asal, yaitu dalam bentuk siklus.
Sumber: Penelitian Tindakan Kelas, DR. Sulipan, M.Pd.
Keempat tahap dalam penelitian tindakan tersebut adalah unsur untuk membentuk sebuah siklus, yaitu satu putaran kegiatan beruntun, dari tahap penyusunan rancangan sampai dengan refleksi, yang tidak lain adalah evaluasi. Apabila dikaitkan dengan "bentuk tindakan" sebagaimana disebutkan dalam uraian ini, maka yang dimaksud dengan bentuk tindakan adalah siklus tersebut. Jadi bentuk penelitian tindakan tidak pernah merupakan kegiatan tunggal tetapi selalu berupa rangkaian kegiatan yang akan kembali ke asal, yaitu dalam bentuk siklus.
Sumber: Penelitian Tindakan Kelas, DR. Sulipan, M.Pd.
Langganan:
Postingan (Atom)