Sabtu, 12 Desember 2015

KEBANGKITAN NASIONAL: BUDI UTOMO ATAU SERIKAT ISLAM (SI)

20 Mei menjadi Hari Kebangkitan Nasional bagi Republik Indonesia. Hari tersebut bukan hanya sekedar hari-hari belaka, tetapi menghujam ke dalam benak masyarakat Indonesia, bahwa pada hari kelahiran Budi Utomo-lah Indonesia memiliki kesadaran untuk bangkit secara menyeluruh. Penetapan seperti ini tak semestinya dianggap enteng. Penetapan hari penting bagi negara, penetapan pahlawan-pahlawan nasional, tugu-tugu peringatan memiliki makna yang mendalam sebagai simbol-simbol negara yang memiliki makna.[1]
Ketika berbicara mengenai hari kelahiran organisasi Budi Utomo sebagai Hari Kebangkitan Nasional, akan ada konsekuensi-konsekuensi dari ‘simbol’ tersebut. Pertanyaan-pertanyaan layak dilontarkan, seperti misalnya, apa benar kesadaran kebangkitan nasional kita berasal dari kesadaran kesukuan (Jawa)? Betulkah ikatan kesukuan lebih mendorong kebangkitan ketimbang agama? Lantas bagaimana peran nyatanya dalam kehidupan? Pertanyaan, jika tak ingin dibilang gugatan seputar penetapan Hari Kebangkitan Nasional bukanlah hal baru. Setidaknya, sejak 1956, ketika diperingati Hari Kebangkitan Indonesia, gugatan tersebut telah mengemuka.[2]
Kesadaran kita sebagai sebuah bangsa (bukan negara-bangsa) telah lama muncul dan diakui oleh masyarakat dunia. Bukan melalui ranah-ranah politis, namun melalui para haji dan penuntut ilmu. Di Tanah Suci Mekkah, ratusan hingga ribuan orang telah pergi beribadah haji dan sebagian lainnya melanjutkan untuk menuntut ilmu disana. Setidaknya ulama-ulama nusantara, telah dikenal sebagai bangsa ‘Jawi’ oleh para masyarakat di Timur Tengah. Orang-orang Jawi ini tidak saja pengakuan terhadap orang Jawa, tetapi juga Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Sumbawa hingga Patani (Thailand) dan Mindanao (Filipina).[3]
Eksistensi ulama-ulama nusantara ini semakin berkibar tatkala nama-nama seperti Abdusshomad Al Palimbani, Hamzah Fansuri, Yusuf Al Maqassari, Daud Fattani, Arsyad Al Banjari hingga Nawawi Al Bantani dan Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi menghiasi deretan para penuntut ilmu dan ulama di tanah Suci. Bangsa ‘Jawi’, telah dikenal dan mengenali dirinya sendiri sebagai orang Jawi yang diikat oleh sebuah ikatan abadi bernama Akidah. Islam telah menjadi tali yang kokoh mengikat bangsa kita selama berabad-abad, jauh sebelum ikatan politis bernama nasionalisme hadir di tanah air.
Perlawanan terhadap penjajahan juga didorong oleh ikatan Islam. Berabad-abad ia menjadi obor yang berkobar-kobar membakar semangat jihad melawan penjajahan. Ketika diabad ke 19, Penjajah Belanda membungkam hampir seluruh perlawanan di nusantara, maka di awal abad ke 20 saluran-saluran perlawanan muncul dalam bentuk pergerakan. Penilaian seputar Kebangkitan Nasional perlu dicermati. Menimbang dan menelisik kehadiran Budi Utomo, dapat dilakukan dengan melihat tahun-tahun pertama berdirinya organisasi Budi Utomo.
Pidato Ratu Wilhelmina di tahun 1901, menandai beralihnya suatu periode baru yang lazim disebut politik Etis. Sang Ratu menitahkan,
“Sebagai Negara Kristen, Negeri Belanda Wajib memperbaiki kedudukan hukum orang-orang Kristen Pribumi di Kepulauan Hindia, memberikan dukungan kuat pada misi Kristen dan menanamkan pada seluruh system pemerintahan dengan kesadaran bahwa Negeri Belanda mempunyai kewajiban moral terhadap penduduk di kawasan ini.”[4]
Proses politik etis ini dapat kita baca sebagai proses pembaratan penduduk pribumi dengan segala batasannya. Salah satu tujuan politik etis adalah desentralisasi (birokrasi) pemerintahan kolonial. Tetapi tentu saja, pemerintah Belanda tak berniat memberikan kemerdekaan kepada Hindia Belanda. Pemerintah colonial tetaplah penguasanya. Hanya saja perailhan ini memberikan kesempatan bagi orang jawa untuk mencicipi posisi birokrasi kolonial. Maka sejumlah besar bangsawan Jawa, Priyayi lebih tepatnya, mendapat kesempatan ini.
Priyayi yang telah merasakan birokrasi kolonial ini memang terbatas jumlahnya jika dibandingkan dengan penduduk Jawa yang ada. Para priyayi terdidik barat ini lambat laun mulai untuk memperjuangkan nasib, meski untuk kalangan mereka sendiri. Hal itu dapat dilihat, misalnya dari terbitnya majalah Retnodoemillah atau Pewarta Prijaji. Meski awalnya mungkin majalah ini dipakai sebagai sarana komunikasi antar elit Jawa, namun majalah ini memuat pula berita-berita lain, misalnya berita dunia.[5]

Dr. Wahidin Soedirohoesodo.
Dr. Wahidin Soedirohoesodo. Sumber foto: Nagazumi, Akira. 1989. Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti-KITLV

Lama kelamaan Retnodoemillah menyasar pula tak hanya kalangan elit, tetapi juga orang Jawa. Otak dibalik Redaksi Retnodoemillah adalah Dr. Wahidin Soedirohoesodo. Dr. Wahidin memang memimpikan kebangkitan bangsa Jawa. Pendapatnya yang menyatakan Hindu-Budha yang memberikan pengaruh pada budaya Jawa, memperkuat citanya untuk menggerakan bangsa Jawa. Maka citanya disambut ketika ia bertemu dengan murid-murid, STOVIA, terutama Soetomo dan Soeradji di akhir 1907. Murid-murid STOVIA kemudian menjadi pelopor lahirnya Budi Utomo.[6]
Budi Utomo akhirnya di bentuk tanggal 20 Mei 1908 pukul sembilan pagi di aula STOVIA. Tidak hanya dihadiri oleh siswa STOVIA namun dari sekolah lain seperti sekolah pertanian dan kehewanan di Bogor, serta sekolang pamong praja di Magelang dan Probolinggo. Meski para pelopor Budi Utomo tampak lebih progresif dalam pemikiran dibandingkan Dr. Wahidin, namun sentimen Jawa dan non-Jawa masih tak bisa lepas dari Budi Utomo. Maka tak heran apabila murid-murid STOVIA tersebut tampak enggan untuk mengundang orang non Jawa sebagai anggota mereka.
Goenawan Mangunkusumo, salah seorang penggerak Budi Utomo kala itu menyatakan,
“Dengan orang-orang Sumatera, Menado, Ambon dan banyak lagi lainnya yang diam di Hindia, dan hidup dibawah naungan bendera Belanda, kami tidak berani mengajak bekerja sama…”
Meski Goenawan juga menyebut penolakan terhadap orang-orang Prbumi Kristen, karena mereka diistimewakan, namun tampaknya sentiment kedaerahan masih mewarnai pandangannya, “Dengan demikian kita membatasi kegiatan kita dari kalangan luar. Karena sudah menjadi konsep budaya. Di dalam konsep budaya inilah kita mencari unsure-unsur yang membentuk suatu rakyat. Suatu bangsa.”[7]
Elemen yang bersuara untuk persatuan Hindia bukannya tidak ada, namun minoritas. Diwakili oleh Tjipto Mangoennkoesoemo. Tjipto adalah penganjur pendidikan untuk seluruh warga Hindia Belanda. Tjipto dengan keras pula mencela seni dan sejarah Jawa, serta bangsawan Jawa. Hasrat ingin membawa Budi Utomo ke arah politik ‘radikal’ yang menjadikan Hindia tanah merdeka jelas berseberangan dengan Budi Utomo yang cenderung menjauhi politik dan hanya berkutat di pendidikan dan kebudayaan. Maka jelas, jalan Tjipto bukanlah di Budi Utomo. Sehingga ia pun akhirnya mengundurkan diri dari Budi Utomo.[8]
Haluan Budi Utomo, menurut soewarno, seorang tokoh Budi Utomo, menyatakan bahwa Budi Utomo menjadi pelopor bagi Algemeen Javaansche Bond atau Persatuan Seluruh Jawa. Namun tugas pokok Budi Utomo adalah untuk “merintis jalan bagi perkembangan yang harmonis bagi negeri dan bangsa Hindia Belanda.”
Kecondongan, jika tak ingin disebut pemujaan, Budi Utomo pada Jawa memang akhirnya yang mengurung organisasi itu sendiri, sehingga tak berkiprah luas. Dalam Anggaran Dasar yang ditetapkan, Budi Utomo menyebutkan bahwa tujuan organisasi adalah untuk “…menggalang kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis.” Budi Utomo memang tidak pernah ‘berniat’ untuk memperluas organisasinya pada daerah lain yang bukan dibawah pengaruh kebudayaan Jawa. Meskipun sejak 1909 cabang-cabang dibuka di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Ambon, namun keanggotaan dibatasi pada personil militer yang berasal dari Jawa, atau untuk imigran Jawa yang telah bermukim di sana. Hal ini disebabkan karena dalam syarat untuk menjadi anggota Budi Utomo, disebutkan syarat keanggotaan terbatas pada pribumi Jawa dan Madura.[9]
Sikap dan pandangan Jawa sentris ini memang membelenggu Budi Utomo. Maka tak heran hingga akhir tahun 1900-an pun  anggotanya paling banyak hanya 10 ribu orang. Salah satu faktor yang membuat orang Jawa enggan untuk bergabung dengan Budi Utomo adalah karena organisasi ini diisi oleh para priyayi. Bagi rakyat Jawa jelata ada perasaan sungkan untuk begabung dengan (Priyayi dan ningrat) Budi Utomo. Di Surakarta sendiri, Budi Utomo tidak mendapat sambutan hangat. Kecondongan Budi Utomo kepada Kesultanan Jogjakarta membuat rakyat Surakarta yang didominasi pedagang dan santri enggan merapat ke Budi Utomo.
Budi Utomo memang terang bukan organisasi yang mendekat pada Islam. Budi Utomo menganut paham netral agama. Bahkan Budi Utomo, jika ditelisik lebih dalam lebih condong kepada Theosofi. Kedekatan Budi Utomo dengan theosofi misalnya, dapat kita lihat dari seorang tokoh wakil sekretaris Himpunan Theosofi di Hindia Belanda, yaitu D. Van Hinloopen Labberton. Labberton, yang disebut ‘Kiai’ oleh Dr. Sutomo ini, memberikan dukungannya kepada Budi Utomo. Maka meski ada upaya-upaya mendekatkan Budi Utomo kepada umat Islam yang dilakukan oleh segelintir pengurus Budi Utomo, namun upaya ini akhirnya kandas, karena tak disetujui oleh perkumpulan secara resmi. [10]
Budi Utomo memang melakukan pencapaian-pencapaian di tanah Jawa, misalnya dengan membuka sekolah-sekolah untuk pribumi Jawa. Namun melihat kenyataan-kenyataan yang terhampar, Budi Utomo lebih tepat untuk disebut pelopor kebangkitan Jawa ketimbang nasional. Hal ini berbanding terbalik, jika kita melihat kiprah Sarekat Islam di tanah air.
Sarekat Islam yang awalnya disebut Sarekat Dagang Islam, lahir lebih dahulu ketimbang Budi Utomo, yaitu tahun 1905. Memang ada perbedaan pendapat di kalangan sejarawan mengenai tahun kelahiran Sarekat Dagang Islam.[11] Namun, menurut kesaksian sang pendiri, yaitu H. Samanhoedi, Sarekat Dagang Islam (SDI) lahir 1905 di Surakarta. Sarekat Dagang Islam lahir awalnya sebagai upaya untuk mengimbangi pedagang Cina pada masa itu.[12] Perkumpulan ini berupaya mengumpulkan para pedagang batik pribumi dan arab di Surakarta. Persaingan dengan orang tionghoa semakin rumit dengan retaknya hubungan social diantara pribumi dan Cina di masyarakat. Sikap orang Cina yang menjadi arogan, akibat meningkatnya nasionalisme Cina. Mereka mengaitkan diri mereka dengan orang-orang Cina di tanah leluhur mereka dan sebagai bagian dari Cina raya di dunia.Hal ini mengakibatkan munculnya fundamentalisme dan rasa ekslusif serta agresif dari kalangan orang Cina di Jawa masa itu. Lahirnya Republik Tiongkok semakin menambah rasa percaya diri mereka. Berbagai perkumpulan eksklusif orang-orang Cina seperti Tiong Hoa Hwee Koan, yang mendirikan sekolah-sekolah berbahasa Cina semakin memperbesar jurang yang ada. Di Hindia Belanda, mereka menuntut statusnya disamakan dengan orang eropa. Keretakan hubungan ini seringkali ditandai dengan bentrok antara penduduk pribumi dan Cina. [13]
Kiprah Sarekat Dagang Islam, meski telah melakukan kongresnya sejak tahun 1906, namun belum berbuat banyak. Tahun 1909, H. Samanhoedi bertemu dengan Tirtoadisoerjo, seorang pelopor pers di tanah air yang juga memiliki organisasi Sarekat Dagang Islamijah di Batavia. Mereka kemudian menggabungkan kedua organisasi tersebut dan melebur menjadi Sarekat Dagang Islam. Tirtoadisoerjo yang juga memimpin surat kabar Medan Prijaji ditugaskan untuk mengenalkan Sarekat Dagang Islam melalui pers. Tahun 1911, ketika Sarekat Dagang Islam melebur, telah terasa kecondongan organisasi tersebut kearah persatuan. Hal ini dapat dilihat dari tujuan organisasi tersebut yang berupaya untuk membantu sesama muslim dan meningkatkan kesejahteraan pribumi.[14]
Tahun 1912, organisasi ini semakin besar. Dengan 4.500 orang anggotanya, dalam beberapa kasus, anggota Sarekat Dagang Islam berkonflik dengan orang-orang Cina, sebagai bagian dari pembelaan terhadap sesama anggota SDI. Jumlah yang semakin membesar ini membuat pemerintah kolonial mencekal organisasi tersebut dan melarang mereka untuk mengadakan pertemuan. Di lain sisi, SDI terus membesar dan memperoleh pengikut di Surabaya. Di Surabaya inilah Sarekat Dagang Islam mengajak Oemar Said Tjokroaminoto untuk bergabung. Suatu kejadian yang akan mengubah jalan SDI dan juga bangsa Indonesia.[15]
Terjepit oleh pencekalan dari pemerintah kolonial SDI akhirnya melebur dengan cabang Surabaya dan membentuk nama baru, yaitu Sarekat Islam (SI). Dengan lahirnya Sarekat Islam, maka arah pergerakan di Hindia Belanda tak lagi sama. Sarekat Islam meroket dan merebut hari masyarakat pribumi ketika itu. Jumlah anggotanya meledak, Dari 35 ribu orang di Agustus 1914, pada tahun 1915, Sarekat Islam telah memiliki 490.120 anggota. Bahkan pada tahun 1919, anggota Sarekat Islam telah mencapai 2 juta orang.[16]
Pertemuan Sarekat Islam di Blitar, tahun 1914. Sumber foto: KITLV Digital Media Library (http://media-kitlv.nl/all-media/indeling/detail/form/advanced/start/7?q_searchfield=sarekat+Islam)
Pertemuan Sarekat Islam di Blitar, tahun 1914. Sumber foto: KITLV Digital Media Library (http://media-kitlv.nl/all-media/indeling/detail/form/advanced/start/7?q_searchfield=sarekat+Islam)
Sarekat Islam memang mampu menyatukan penduduk pribumi. Agama Islam sebagai pengikat yang erat diantara masyarakat Hindia Belanda ketika itu. Kala itu, menyebut orang pribumi berarti adalah orang Islam.[17] Sarekat Islam mampu menyatukan rakyat pribumi dari berbagai lapisan, mulai dari kalangan bangsawan, terdidik barat, hingga para ulama. Karena azas Islam ini pula SI memilki daya ikat yang luar biasa. Bagi SI, agama Islam bukanlah sekedar ‘jualan’ untuk mengumpulkan massa, seperti yang dituduhkan sebagian kalangan peneliti. Dampak dari hadirnya Sarekat Islam amat terasa pada sisi keshalehan. Masjid-masjid menjadi lebih penuh, bukan hanya di hari Jumat, tetapi juga di hari-hari biasa. Ada kalanya masjid-masjid sampai penuh sesak tak mampu menampung jamaah. Banyak pekerja yang meminta libur pada hari Jumat. Di Menggala, Lampung, warung tutup saat waktu Jumat. Kehadiran Sarekat Islam juga menimbulkan rasa keterkaitan dengan kekhalifahan Turki Usmani.[18]
Di pedesaan, Sarekat Islam menjadi saluran bagi para petani untuk menyalurkan aspirasinya. Tak bisa dipungkiri memang, karisma Tjokroaminoto begitu dahsyat. Ketika rapat terbuka SI pertama kali diadakan (setelah masuknya Tjokroaminoto), massa yang berkumpul mencapai 80 ribu orang. Tjokroaminoto, dengan suara bariton dan kemampuannya yang luar biasa dalam berpidato, telah ‘menyihir’ masyarakat pribumi ketika itu. Namun adalah sebuah kekeliruan ketika mengggap bergabungnya orang-orang ke dalam Sarekat Islam akibat pribadi Tjokroaminoto semata.[19]
Sarekat Islam telah menjadi pembela bagi para pedagang kecil, kaum buruh, kaum tani dan rakyat miskin lainnya. Sarekat Islam sejak awal kongres pertamanya telah berbicara mengenai ‘negeri’, bukan suku seperti Budi Utomo. Dalam tujuan awalnya, Sarekat Islam “…berikhtiar mengangkat derajat rakyat agar menimbulkan kemakmuran, kesejahteraan dan kebesaran negeri.”[20]
Sikap politik Sarekat Islam memang bukan sikap konfrontatif seperti Indische Partij (IP). Hal ini disebabkan oleh sikap pemerintah kolonial yang amat represif. Bersikap seperti IP berarti pembungkaman. Melalui sikap yang koperatif, SI mampu mempertahankan dirinya agar tetap bisa hidup. Bahkan SI mulai berbicara tentang pemerintahan sendiri (selfbestuur) dan nasionalisme pada kongresnya yang kedua.
Sikap Tjokroaminoto tentang emansipasi politik, dapat kita tangkap dari pidatonya tahun 1916 di Bandung. Ia mengatakan, tidaklah layak Hindia Belanda diperintah oleh Holland. Zoals een landheer zijn percelen beheert (Sebagai tuan tanah yang menguasai tanah-tanahnya). Hindia Belanda tidaklah layak lagi dianggap sebagai seekor sapi perahan, yang hanya diberi makan demi susunya. Tempat dimana orang-orang berdatangan hanya untuk memperoleh keuntungan. Keadaan yang sekarang, yaitu negeri kita diperintah oleh suatu Staten-General yang begitu jauh tempatnya nun di sana, harus diganti dengan situasi pemerintahan sendiri. Setidak-tidaknya digantikan oleh suatu keadaan dimana penduduk Hindia Belanda mempunyai hak untuk berbicara mengenai urusan pemerintahan. Selanjutnya lagi dikatakan pula bahwa tidak layak lagi, undang-undang dibuat untuk kita tanpa kita.[21]
Sarekat Islam meski bersikap tidak frontal, namun tetap berdiri tegak membela rakyat pribumi di tanah air. Mereka tetap tajam mengkritik praktek-praktek keji kolonialisme, mulai dari urusan kesejahteraan, ekonomi, nasib kaum buruh, hingga menentang kristenisasi di tanah air.[22] Anggotanya mengikat seluruh lapisan masyarakat. Kaya hingga miskin. Pedagang, hingga priyai. Jurnalis hingga ulama. Dan kepeduliannya tak disekat oleh belenggu suku atau etnis. Maka, bertolak dari kenyataan, kenyataan tersebut, amat layak jika kita kedepankan Sarekat Islam sebagai pelopor Kebangkitan Nasional Indonesia. Suatu gerakan merakyat, merentang luas,mengikat rakyat dalam satu ikatan, yaitu Islam.
Oleh : Beggy Rizkiyansyah – Penggiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)


[1] Schreiner, Klaus H. 2002. ‘National Ancestors’: The Ritual Construction of Nationhood dalam Potent Dead: Ancestors, Saints and Heroes in Contemporary Indonesia. Honolulu: University of Hawaii Press.
[2] Rambe, Safrizal. 2008. Sarekat Islam: Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-1942. Jakarta: Yayasan Insan Cendikia.
[3] Laffan, Michael Francis. 2003. Islamic Nationhood And Colonial Indonesia. New York: Reoutledge Curzon
[4] Nagazumi, Akira. 1989. Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti-KITLV
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] Ibid
[10] Ibid
[11] Rambe, Safrizal. 2008.
[12] Jaylani, Timur. 1959. Sarekat Islam: Its Contribution to Indonesian Nationalism. Tesis tidak diterbitkan untuk Institute Islamic Studies, McGill University, Montreal, Canada.
[13] Rambe, Safrizal. 2008.
[14] Jaylani, Timur. 1959.
[15] Ibid
[16] Rambe, Safrizal. 2008.
[17] Ibid
[18] Korver, A.P.E. 1985. Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil? Jakarta: Grafiti Pers.
[19] Rambe, Safrizal. 2008.
[20] Ibid
[21] Korver, A.P.E. 1985.
[22] Melayu, Hasnul Arifin. 2000. Islam and Politics in the Thought of Tjokroaminoto.(1882-1934). Tesis tidak diterbitkan untuk Institute Islamic Studies, McGill University, Montreal, Canada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar