Islamisasi Tatar Sunda: Perspektif Sejarah dan Kebudayaan
Oleh: Tiar Anwar Bachtiar, Ketua Umum PP Pemuda Persis / Doktor Sejarah FIB UI
Tatar Sunda adalah wilayah tempat bermukimnya suku Sunda. Tatar Sunda
umumnya disamakan dengan daerah Jawa Barat. Sebelum daerah Jawa bagian
barat terpecah menjadi provinsi Banten, Jakarta, dan Jawa Barat seluruh
wilayah ini dianggap sebagai bagian dari etnik Sunda. Oleh sebab itu,
ketika membicarakan sejarah Sunda, selalu saja Cirebon, Banten, dan
Jakarta menjadi wilayah yang dianggap menjadi bagian dari Sunda. Akan
tetapi, kini Jakarta diklaim sebagai tempat bermukim etnik khusus
bernama “Betawi”, dan orang-orang Banten menganggap mereka bukan Sunda,
melainkan “Banten”. Sebentar lagi, Cirebon ingin berpisah dari Jawa
Barat karena mereka merasa bukan “Sunda”. Mereka adalah etnik
tersendiri.
Sesungguhnya, kalau yang dilihat adalah perbedaan-perbedaan, tentu akan
semakin banyak wilayah yang ingin membentuk provinsi sendiri karena
alasan etnisitas seperti kasus Banten dan Cirebon. Akan tetapi, itu
tidak berarti bahwa sungguh-sungguh Banten, Cirebon, dan Betawi
benar-benar bukan bagian dari “Tatar Sunda”, karena pada kenyataannya,
pada wilayah-wilayah itulah populasi masyarakat Sunda tersebar. Oleh
sebab itu, bila berbicara “Tatar Sunda” dalam sejarah, tentu
wilayah-wilayah itu tetap merupakan bagian di dalamnya.
Sama seperti etnis Jawa yang umumnya berdiam di wilayah Jawa bagian
tengah dan timur, etnis Sunda pun mengalami proses sejarah yang panjang
yang umumnya tidak terlampau berbeda dengan yang dialami oleh etnis
Jawa. Salah satu fase sejarah yang paling penting adalah proses
Islamisasi. Proses ini, sampai saat ini merupakan proses yang memberikan
kesan paling penting dam mendalam bagi masyarakat Sunda. Paling tidak,
secara nominal, mayoritas suku Sunda menganut Islam. Islam bahkan hampir
menjadi bagian dari identitas kesundaan. Dengan kata lain, kalau tidak
Islam, agak aneh bahwa dia adalah orang Sunda, sekalipun pada
kenyataannya ada saja orang Sunda yang tidak Islam.
Membicarakan Sunda dengan Islam tentu menjadi semakin menarik apabila
pendekatan yang dipakai adalah kebudayaan. Islam sebagai agama yang
berwatak membentuk peradaban, tantu yang akan paling terlihat dampaknya
dari keberadaan Islam adalah basis dari peradaban itu sendiri, yaitu
kebudayaan. Sejarah proses Islamisasi menjadi semakin dapat dimengerti
dengan baik apabila yang dipertimbangkan adalah faktor kebudayaan ini.
Tulisan berikut ini akan secara singkat memotret Islamisasi Masyarakat
Sunda dari sudut pandang sejarah dan kebudayaan.
A. ISLAMISASI TATAR SUNDA DALAM SEJARAH
Sudah menjadi kebiasaan dalam historiografi kolonial bahwa Islamisasi
akan dibenturkan dengan pertahanan adat masyarakat lokal. Umpamanya
ketika sejarawan-sejarawan kolonial menceritakan proses Islamisasi di
wilayah kebudayaan Jawa. Islamisasi yang sesungguhnya adalah proses
kebudayaan kemudian digambarkan dengan pristiwa-peristiwa politik.
Jadilah kemudian perang antara Demak dengan Majapahit (1526 M) sebagai
diartikan perang antara Islam dengan Hindu; atau Islam dengan kebudayaan
Jawa. Dalam hal ini, Demak disimbolkan sebagai wakil tradisi Islam
sementara Majapahit disimbolkan sebagai wakil kebudayaan Jawa.
Bila melihat hubungan antara Islam dengan kebudayaan setempat seperti
demikian, maka akan dapat disimpulkan bahwa Islam datang untuk
menghancurkan “kebudayaan” masyarakat setempat. Padahal, sejatinya
proses Islamisasi di Indonesia, apalagi menyangkut kebudayaan, pada
umumnya merupakan proses yang damai, normal, dan wajar tanpa kekerasan.
Orang dengan sukarela menjadi Islam atau tidak. Sementara persoalan
politik sesungguhnya lebih banyak berkaitan dengan kepentingan
kekuasaan, daripada dengan kepentingan mempertahankan kebudayaan.
Hal yang sama juga akan ditemukan saat menceritakan hubungan antara
Sunda dengan Islam. Hubungan ini, dalam sejarah selalu dikaitkan dengan
ingatan perang antara Maulana Hasanudin dari Banten dengan kerajaan
Sunda di bawah pimpinan Ratu Samiam tahun 1579 yang berakhir dengan
hancurnya kerajaan Sunda. Perang ini seolah memberikan pertanda bahwa
Islam dengan Sunda adalah seteru, sesuatu yang tidak dapat dipersatukan.
Padahal, dalam ingatan budaya masyarakat Sunda, perang tersebut sudah
tidak pernah lagi menjadi bagian yang penting untuk dijadikan identitas.
Artinya, bagi mereka kejadian itu tidak dianggap sebagai sesuatu yang
penting dalam proses Islamisasi yang mereka alami. Bahkan dalam alam
pikiran masyarakat Sunda—sebagaimana nanati akan dijelaskan—sejarah
Islamisasi yang mereka alami tidak pernah dikaitkan dengan permusuhan
terhadap kelompok manapun.
Dalam catatan sejarah, Islam datang ke Tatar Sunda seiring dengan
datangnya Islam ke Tanah Jawa pada umumnya. Sama seperti di wilayah Jawa
yang lain, puncak keberhasilan dakwah Islam adalah pada masa Wali
Songo. Di Tatar Sunda, anggota Wali Songo yang menjadi penyebar Islam
tersohor, bahkan sampai berhasil mendirikan kerajaan Islam di Cirebon
dan Banten adalah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Namun
demikian, Sunan Gunung Jati bukan orang pertama yang membawa Islam.
Dalam sumber-sumber lokal-tradisional dipercayai bahwa orang yang
pertama kali memeluk dan menyebarkan Islam di Tatar Sunda adalah
Bratalegawa. Bratalegawa adalah putra kedua Prabu Guru Pangandiparamarta
Jayadewabrata atau Sang Bunisora, penguasa Kerajaan Galuh. Ia memilih
hidupnya sebagai saudagar besar. Karena posisinya itu, ia tebiasa
berlayar ke Sumatera, Cina, India, Srilangka, Iran, sampai ke negeri
Arab. Ia menikah dengan seorang Muslimah dari Gujarat bernama Farhana
binti Muhammad. Melalui pernikahan ini, Bratalegawa memeluk Islam,
kemudian menunaikan ibadah haji dan mendapat julukan Haji Baharudin.
Sebagai orang yang pertama kali menunaikan ibadah haji di kerajaannya,
ia dikenal dengan sebutan Haji Purwa. Ia kemudian menetap di Ciberon
Girang yang saat itu berada di bawah kekuasaan Galuh.
Bila cerita ini menjadi patokan, dapat disimpulkan bahwa Islam pertama
kali dibawa ke Tatar Sunda oleh pedagang dan pada tahap awal belum
banyak pendukungnya karena masih terlampau kuatnya pengaruh Hindu.
Sementara kala waktunya, bila dikaitkan dengan penguasa Kerajaan Galuh
Sang Bunisora yang berkuasa selama 14 tahun dari tahun 1357 hingga 1371
M, maka dapat kita ketahui bahwa peristiwa Bratalegawa atau Haji Purwa
di atas terjadi sekitar abad ke-14.
Ada pula naskah tradisional lain yang menyebutkan cerita tentang Syekh
Nurjati dari Persia. Ia adalah ulama yang datang pada sekitar abad ke-14
bersama 12 orang muridnya untuk menyebarkan Islam di daerah jawa Barat.
Atas izin penguasa pelabuhan tempat ia mendarat, ia diperbolehkan
menetap di Muarajati (dekat Cirebon) dan mendirikan pesantren di sana.
Kisah ini terdapat dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari.
Dalam Babad Cirebon, kisah perintis penyebaran Islam hampir mirip dengan
cerita Bratalegawa. Hanya saja, tokohnya kali ini adalah Pangeran
Walang Sungsang yang dikenal juga dengan nama Ki Samadullah, Ki
Cakrabumi, atau Syekh Abdul Iman. Ia adalah anak penguasa Pajajaran
Prabu Siliwangi dari istrinya Nyai Subang Larang. Hanya saja, ceritanya
kemudian bercampur dengan mitos bertemunya Walangsungsang dengan nabi
Muhammad Saw., padahal secara historis terjadi perbedaan zaman yang
cukup jauh. Di daerang Priangan tokoh anak Prabu Siliwangi yang
dipercaya menyebarkan Islam di Tanah Sunda adalah Kean Santang, dengan
cerita yang hampir sama.
Ada lagi kisah tentang ulama yang datang dari Campa (sekitar Vietnam)
bernama Syekh Quro. Ia singgah di Karawang bersama-sama dengan kapal
Laksamana Cheng Ho. Sementara Cheng Ho melanjutkan misinya, Syekh Quro
memilih tinggal di Karawang dan menikah dengan Ratna Sondari putra
penguasa Karawang. Ia diizinkan untuk mendirikan pesantren hingga ia
dapat menyebarluaskan ajaran Islam secara lebih leluasa.
Sumber-sumber tradisional ini, sekalipun dalam perspektif sejarawan
Barat dianggap sebagai sumber yang tidak otoritatif, namun untuk tidak
dipercayai secara keseluruhan pun bukan perkara yang tepat. Oleh sebab
itu, sebagai informasi permulaan apa yang ditulis dalam sumber-sumber
tradisional di atas patut dipertimbangkan.
Bila sumber-sumber ini kita pegang, dapat disimpulkan bahwa Islam telah
datang ke Tatar Sunda sejak abad ke-12 atau ke-13. Akan tetapi,
sebagaimana umumnya pengembangan agama secara damai, tersebarnya Islam
untuk sampai menjadi anutan mayoritas membutuhkan waktu yang tidak
sedikit. Oleh sebab itu, bila pada abad ke-16, Kerajaan Sunda runtuh,
bukan berarti bahwa Islam yang menghancurkannya. Kehancuran Kerajaan
Sunda adalah karena kekuatannya secara politik semakin merosot sehingga
mudah untuk dihancurkan. Hanya saja, saat itu yang berhadap-hadapan
dengan Kerajaan Sunda adalah Kerajaan Banten sehingga banyak yang secara
simplisistik menyebutkan bahwa hancurnya simbol “kasundaan” adalah
ketika Islam datang. Artinya, peristiwa politik antara Banten dengan
Pajajaran harus dilihat dalam konteks perebutan supremasi politik yang
tidak selalu harus berkaitan dengan masalah keyakinan, terutama dalam
konteks Islamisasi di Tatar Sunda.
Islamisasi di Tatar Sunda sendiri berlangsung secara laten jauh sebelum
terjadi berbagai konflik politik antara Kerajaan Islam Cirebon dan
Banten dengan Kerajaan Pajajaran. Menurut Hasan Mu’arif Ambary,
Islamisasi di Nusantara, termasuk di Tatar Sunda melalui tahap-tahap
yang hampir seragam, yaitu: pertama, adanya kontak antara masyarakat
Nusantara dengan para pedagang, pelaut, atau musafir dari berbagai
belahan dunia seperti China, Arab, India, Asia Tenggara, Persia, dan
sebagainya. Periode ini, berlangsung antara abad ke-7 hingga abad ke-11.
Kontak pergadangan ini menjadi argumentasi awal atas kemungkinan
bertemunya masyarakat Nusantara dengan para pedagang Muslim dari
negara-negara Islam.
Kedua, adanya kontak perdagangan internasional di atas, telah membuka
kesempatan kepada penduduk Nusantara untuk mengadakan kontak secara
khusus dengan para pedagang Muslim. Kontak inilah yang mula-mula
memperkenalkan memperkenalkan Islam ke wilayah Nusantara. Sebagian
penduduk Nusantara sudah mulai ada yang tertarik untuk mempelajarinya,
tidak terkecuali di Tatar Sunda yang sebagian wilayah meliputi juga
wilayah pesisir seperti Banten (temasuk Jakarta) dan Cirebon yang pada
umumnya menjadi tujuan utama para pedagang internasional. Oleh sebab
itu, tidak mengherankan apabila pusat persebaran Islam yang pertama
muncul di daerah pesisir Cirebon. Akan tetapi, tidak ada informasi
sejarah tentang kontak awal Islam di wilayah Tatar Sunda ini sebelum
abad ke-14. Hanya saja, kalau mengikuti logika sejarah tentang
Bratalegawa yang anak penguasa dan saudagar, dugaan bahwa jauh sebelum
abad ke-14 komunitas Muslim dari berbagai belahan dunia sudah memiliki
kontak dengan masyarakat di Tatar Sunda bisa jadi benar. Tentu saja ini
perlu pembuktian lebih lanjut melalui penelusuran bukti-bukti sejarah
baru dari wilayah Tatar Sunda yang sampai saat ini masih terbatas.
Ketiga, tumbuhnya komunitas Islam di Nusantara, baik di wilayah pesisir
maupun pedalaman. Fase ini berlangsung antara abad ke-11 hingga abad
ke-13 Masehi. Di beberapa wilayah pesisir Sumatera, pada fase ini bahkan
sudah muncul beberapa kerajaan Islam awal. Sementara di Tatar Sunda
sendiri, seperti sudah dijelaskan di atas, kemungkinan besar sudah
muncul komunitas Muslim di wilayah pesisir utara Jawa Barat (Cirebon,
Karawang, dan sekitarnya). Bila nama-nama seperti Syekh Quro dan lainnya
sudah muncul, berarti sudah tumbuh komunitas Muslim di sana. Bahkan
bila merujuk kepada mitos tentang Kean Santang, anak Prabu Siliwangi,
yang masuk Islam, komunitas Muslim di Tatar Sunda besar kemungkinan
sudah masuk pula ke pusat-pusat kekuasaan Kerajaan Sunda Pajajaran.
Keempat, pelembagaan Islam yang ditandai tumbuhnya pusat-pusat kekuatan
politik dan kesultanan Islam di Nusantara yang terjadi pada antara abad
ke-13 hingga abad ke-16 Masehi. Di Tatar Sunda pada periode ini sudah
muncul Islam yang paling penting, yaitu Cirebon dan Banten. Ini menandai
puncak penyebaran Islam di kawasan ini. Saat kerajaan Cirebon muncul,
kerajaan Sunda sampai pada masa kehancurannya karena berbagai faktor
eksternal dan internal. Pada masa ini, kerajaan-kerajaan Islam pun sudah
berhadapan dengan kekuatan kolonialisme Eropa.
Kelima, surutnya kharisma dan kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam berganti
dengan munculnya dominasi ekonomi, politik, dan militer Eropa. Pada
masa ini mulai ada usaha de-Islamisasi yang dilakukan oleh Belanda
melalui berbagai gerakan, baik sosial, politik, maupun kebudayaan.
Gerakan de-Islamisasi politik dilakukan dengan cara tidak memberlakukan
kembali sistem perundangan berdasarkan syari’at Islam yang digunakan
oleh kerajaan-kerajaan Islam, termasuk di Banten dan Cirebon. Secara
sosial, usaha-usaha Kristenisasi sampai pada taraf tertentu dilakukan
sangat agresif di wilayah-wilayah mayoritas Islam. Melalui kebudayaan,
timbul usaha-usaha untuk memisahkan Islam dari kebudayaan lokal.
Kebudayaan yang hidup di tengah masyarakat Sunda, dengan dalih
“melestarikan” budaya, sebisanya dibentur-benturkan dengan ke-Islam-an
yang dianut mayoritas msyarakat Sunda. Sekalipun kelihatannya untuk
kasus Sunda masih relatif sulit untuk sampai ke sana sebagaimana akan
dijelaskan pada sub bab berikut ini.
2. ISLAMISASI SUNDA PERSPEKTIF KEBUDAYAAN
Bila dalam konteks sejarah, jejak Islamisasi Sunda secara tertulis agak
sulit didapatkan karena data-data sejarah yang terbatas, justru saat ini
artefak-artefak kebudayaan Sunda amat melimpah. Artefak kebudayaan itu
dapat disaksikan dari artefak-artefak berupa bangunan fisik, perilaku
dan adat-istiadat urang Sunda, dan warisan sastra yang cukup melimpah.
Artefak tersebut sebagian besar tentu berakar dari zaman yang dekat.
Sebagian kecil berusia sampai ratusan tahun ke belakang.
Artefak dan perilaku budaya merupakan salah satu tanda (sign) tentang
adanya suatu pemikiran tertentu yang sangat mungkin dipengaruhi oleh
kepercayaan tertentu pula. Islamisasi yang merupakan proses mental dan
pemikiran, tentu akan amat berkait dengan artefak dan perilaku budaya
ini. Oleh sebab itu, analisis terhadap kebudayaan Sunda akan dapat lebih
mendekatkan kita kepada intensitas Islamisasi di Tatar Pasundan.
Analisis ini juga akan sangat membantu kelemahan yang ditinggalkan
analisis kesejarahan yang sampai saat ini masih terus harus berjuang
mengumpulkan sumber-sumber yang banyak.
1. Mitos Islamisasi Urang Sunda
Analisis pertama akan kita lihat bagaimana sikap orang Sunda terhadap
ajaran Islam yang dianutnya. Suatu sikap masyarakat terhadap sesuatu
terkadang dapat ditunjukkan oleh mitos apa yang hidup dan dipercayai
masyarakat. Mitos bukan hanya sekadar dongeng dan khayalan, melainkan
kisah (sekalipun khayalan) yang menjadi kepercayaan suatu masyarakat.
Mitos memang tidak memiliki fakta yang jelas dan bisa dibuktikan
sehingga mitos selalu menjadi antonim dari “ilmu pengetahuan” (sciences)
dan “kenyataan” (reality). Sekalipun sama-sama merupakan cerita tidak
berdasar, mitos dibedakan dari legenda dan karangan fiksi. Legenda dan
ceriata fiksi lain sudah disadari sejak semua sebagai cerita yang tidak
berdasar. Sedangkan mitos, secara tidak sadar dipercayai sebagai suatu
realitas yang nyata bagi orang yang mempercayainya sehingga berpengaruh
pada perilakunya.
Walaupun apa yang diceritakan dalam mitos tidak memiliki kebenaran (have
no truth) secara ceritanya, tapi justru adalah sebuah kenyataan bahwa
mitos “dipercayai oleh masyarakat yang mempercayainya”. Oleh sebab itu,
objektivikasi mitos bukan pada “kisah”-nya, melainkan pada “sikap
mental” masyarakat atau orang yang mempercayainya. Mitos yang berkembang
pada suatu masyarakat dapat digunakan sebagai alat analisis untuk
melihat bagaimana sikap mental masyarakat terhadap sesuatu yang menjadi
fokus dari kisah mitos itu. Salah satunya, untuk memahami bagaimana
urang Sunda memaknai Islam yang dianutnya dapat kita pahami dengan baik
salah satu mitos paling populer mengenai Islamisasi tatar Sunda.
Mengenai Islamisasi Tatar Sunda, mitos yang paling populer adalah
mengenai Kean Santang. Secara singkat, mitos tentang Kean Santang adalah
sebagai berikut.
Kean Santang bernama asli Gagak Lumayung. Ia merupakan anak dari Prabu
Siliwangi, Raja Pajajaran, yang juga panglima besar Pajajaran yang tidak
pernah dikalahkan oleh siapa pun di seluruh Jawa. Ia tidak pernah
terluka meskipun telah mengarungi banyak pertempuran. Inilah sebabnya,
dalam wawacan disebutkan, ia belum pernah melihat darahnya sendiri.
Untuk itu, ia berpamitan kepada ayahandanya, Prabu Siliwangi, untuk
bertapa mencari petunjuk bagaimana ia dapat melihat darahnya sendiri.
Kean Santang pernah mendengar adanya orang yang amat sakti di Mekah,
bernama Baginda Ali. Tetapi ia tidak mengetahui di mana Mekah itu.
Dalam pertapaannya ia mendapatkan petunjuk untuk mengganti namanya
menjadi Garantang Setra. Dengan ilmu tapak kancang atau berjalan di atas
air, Kean Santang menuju arah barat. Sampailah ia di Mekah. Ia bertemu
dengan Baginda Ali yang menyamar menjadi orang tua. Baginda Ali kemudian
memberikan ujian pertama kepada Kean Santang, yaitu mengambil sisirnya
yang tertinggal. Kean Santang berhasil menemukan sisir itu, namun ketika
mau diambil, sisir itu masuk ke dalam tanah. Kean Santang tak berhasil
memegangnya. Bginda Ali menasihati agar Kean Santang mengucapkan
Basmalah. Sisir dapat diambil.
Kean Santang diajak Baginda Ali untuk ikut mendirikan tiang masjid di
Mekah. Di sinilah ia bertemu dengan Nabi. Kean Santang masuk Islam dan
diberi nama Sunan Rahmat. Ia ingin tetap berada di Mekah, tetapi
Rasulullah mengangkatnya sebagai Wali untuk mengislamkan pulau Jawa.Nabi
menyuruh Kean Santang mengucapkan Kalimah kalih (syahâdatain) sambil
memejamkan mata, maka tiba-tiba ia sudah sampai di tanah Jawa, bahkan di
Pakuan.
Kean Santang alias Sunan Rahmat alias Sunan Bidayah menghadap
ayahandanya Prabu Siliwangi dan memintanya untuk masuk Islam. Tetapi
raja Pajajaran ini menolak. Juga ketika Kean Santang menunjukkan dirinya
sebagai wawakil Nabi untuk mengislamkan Pajajaran di atas materai batu
datar dengan huruf Jawa. Namun demikian, Prabu Siliwangi tidak
menghalangi atau melarang anaknya untuk menyebarkan Islam. Untuk
menghindari konflik kepentingan dengan anaknya, akhirnya Prabu Siliwangi
memilih untuk melenyapkan diri (ngahiyang), keratin Pakuan Pajajaran ia
ubah menjadi hutan rimba. Sementara Para raja yang lain, para menteri,
dan para bupati berubah menjadi harimau dan menghuni hutan Sancang.
Kean Santang berkeliling Tatar Sunda mengislamkan masyarakat dari satu
kampung ke kampung lain. Pada mulanya di Tegal Leles Cipancar, kean
santang mengkhitan seorang penduduk ketika masuk Islam, namun karena
belum tahu bagaimana mengkhitan, penduduk kampong tersebut meninggal
dunia akibat dipiting seluruh kemaluannya. Kean Santang kemudian
menghadap kembali Nabi dan diajari bagaimana mengkhitan orang.
Setelah mengislamkan seluruh Tatar Sunda, Kean Santang menghadap lagi
Nabi dan memohon untuk menetap di Mekah. Namun, Nabi tidak
mengizinkannya dan tetap memberinya tugas sebagai wali di Pulau Jawa.
Cerita (wawacan) seperti di atas tersebar hampir di seluruh wilayah di
Tatar Sunda dengan cerita yang kadang-kadang tidak selalu sama. Kalau
nama Kean Santang dikenal di daerah Priangan, di Cirebon dan sekitarnya
tokoh Kean Santang ini dikenal dalam Babad Cirebon sebagai Pangeran
Walangsungsang. Selain namanya yang berbeda, hampir semua ceritanya,
terutama mengenai pertemuan dengan Nabi, tidak terlalu berbeda.
Sekalipun berbeda nama penyebar Islam, namun dalam semua cerita bahwa
tokoh itu adalah anak Prabu Siliwangi.
Menarik bahwa proses Islamisasi dalam mitos yang hidup di kalangan
masyarakat Sunda semuanya dikaitkan dengan Prabu Siliwangi. Prabu
Siliwangi adalah tokoh yang juga hanya hidup dalam mitos masyarakat
Sunda. Ia dianggap sebagai raja Sunda yang paling adil, bijaksana, dan
sekaligus menjadi raja Sunda terakhir sebelum datangnya Islam. Karena
keadilannya itu, Prabu Siliwangi menjadi legenda masyarakat Sunda. Namun
siapakah Raja Sunda yang disebut-sebut sebagai Siliwangi itu? Tidak ada
kata sepakat di kalangan para peneliti. Ada banyak versi mengenai sosok
Prabu Siliwangi ini.
Mengenai siapa Prabu Siliwangi ini Edi S. Ekadjati menyimpulkan bahwa
dimungkinkan yang dimaksud adalah Raja Niskala Wastukancana (1371-1475)
yang berkedudukan di keraton Surawisesa di ibu kota Kawali (Galuh) atau
Raja Sri Baduga Maharaja (1482-1521) yang berkedudukan di keraton Sri
Bima Punta Narayana Madura Suradipati di ibukota Pakuan (Pajajaran);
atau bisa juga yang dimaksud adalah keduanya. Keduanya merupakan
raja-raja Sunda yang berhasil membawa kerajaan Sunda ke puncak
kejayaannya hingga dikenang oleh masyarakat Sunda. Walaupun secara
historis tidak ditemukan raja Sunda benama, bergelar, atau berjuluk
Siliwangi, masyarakat Sunda pada umumnya percaa bahwa tokoh ini
sungguh-sungguh merupakan tokoh historis kebanggaan masyarakat Sunda.
Bagi sebagian kalangan, tokoh Siliwangi ini bukanlah kedua orang di
atas, melainkan tokoh yang benar-benar ada sebagai “Siliwangi” sekalipun
tidak bisa dibuktikan secara historis keberadaannya.
Begitu melegendanya Prabu Siliwangi, sampai-sampai proses Islamisasi
Tatar Sunda, dalam kepercayaan masyarakat Sunda pun harus dikaitkan
dengan tokoh ini. Dengan mengaitkannya pada Prabu Siliwangi, masyarakat
Sunda ingin menunjukkan bahwa keberadaan Islam pun sama pentingnya
dengan keberadaan Prabu Siliwangi. Bahkan dalam kisah lain ada yang
mempercayai bahwa Prabu Siliwangi inilah yang pertama masuk Islam dan
menyebarkannya kepada masyarakat Sunda, bukan anaknya Kean Santang atau
Walangsungsang.
Bagaimanapun dan siapapun Prabu Siliwangi adanya, cerita mengenai
Islamisasi tanah Sunda yang dikaitkan dengannya seperti terkandung dalam
cerita di atas menunjukkan kepada kita beberapa hal. Pertama, secara
kebudayaan urang Sunda merasa bahwa menjadi Islam adalah suatu keharusan
disebabkan ini merupakan “amanat” sang Prabu Siliwangi yang mereka
hormati melalui anaknya Kean Santang. Ngahiyang-nya Prabu Siliwangi
menandakan bahwa kepercayaan sebelum datangnya Islam sudah benar-benar
hilang dibawa bersama hilangnya Prabu Siliwangi yang tidak meninggalkan
jejak dan bekas apapun kecuali alam yang kembali pada asalnya (hutan
belantara) sebagai pertanda bahwa ajaran yang dibawa Prabu Siliwangi pun
sudah kembali ke asalnya, tanpa meninggalkan bekas apapun.
Kedua, kisah Islamisasi dalam mitos urang Sunda di atas pun ingin
menunjukkan bahwa Islam datang ke wilayah ini secara damai. Tidak ada
perang dan pertumpahan darah. Saat anaknya memutuskan untuk memeluk dan
menyebarkan Islam, sang ayah memutuskan untuk tidak terlibat dalam
proses sejarah yang akan menyebabkan konflik dengan cara ngahiyang.
Proses “ngahiyang” dalam konsep Hindu sebanding dengan moksa. Dengan
ngahiyang-nya Prabu Siliwangi yang merupakan puncak tujuan kehidupan
dalam keyakinan Hindu, posisi Prabu Siliwangi yang Hindu ditempatkan
pada posisinya yang paling terhormat.Ia tetap dihormati, sekalipun
memilih untuk tidak masuk Islam. Kalau kisah mengenai ke-Islaman Prabu
Siliwangi juga dipercayai oleh masyarakat Sunda, proses Islamisasi
menunjukkan prosesnya yang lebih damai lagi. Dalam versi cerita ini,
Islam bahkan dianut oleh sosok yang sangat dihormati masyarakat Sunda.
Secara hostoris sesungguhnya sempat tercatat konflik berdarah antara
Raja Samiam (Raja Sunda-Pajajaran terakhir) dengan Maulana Yusuf dari
Kasultanan Banten tahun 1579 M yang mengakhiri supremasi kerajaan
Pajajaran di Tatar Sunda. Akan tetapi, cerita ini hanya ditemukan dalam
catatan sejarah Sunda-Banten. Dalam tradisi masyarakat, baik di Banten
maupun di Priangan dan Cirebon, kisah ini tidak hidup. Ini menandakan
bahwa perang di antara kedua kerajaan itu, bagi masyarakat dipandang
hanya sekadar konflik politik biasa yang tidak berhubungan dengan
keyakinan mereka. Oleh sebab itu, tradisi yang hidup tetap tentang
proses penyebaran Islam yang damai.
Ketiga, melalui mitos ini urang Sunda ingin meyakinkan bahwa Islam yang
datang pada mereka adalah Islam yang asli berasal dari pembawanya, yaitu
Nabi Muhammad Saw. Selain itu, mitos ini juga semacam pernyataan
mentalitas urang Sunda yang siap untuk menerima apa saja yang berasal
dari pembawa ajaran Islam, Nabi Muhammad Saw. Sikap mental semacam ini
menjadi penting dalam proses dakwah Islam di Tatar Sunda pada masa-masa
intensifikasinya yang ditandai dengan berdirinya berbagai lembaga
pendalaman Islam seperti mesjid dan pesantren di seluruh wilayah Tatar
Sunda. Karena merasa bahwa Islam yang dianut mereka berasal langsung
dari Nabi Saw., saat diperkenalkan sedikit demi sedikit ajaran-ajaran
Islam lebih lanjut, masyarakat Sunda cenderung lebih mudah menerimanya.
Demikian lebih kurang hal-hal yang bisa ditafsirkan dari mitos Kean
Santang yang tersebar di masyarakat Sunda. Mitos tetaplah mitos. Dia
bukan merupakan fakta sejarah. Namun, ketika mitos itu dihubungkan
dengan realitas historis, mitos ini menunjukkan adanya kesadaran sejarah
tertentu—seperti yang dijelaskan di atas—yang melekat dalam diri
masyarakat pendukungnya yang dalam hal ini masyarakat Sunda. Secara
kebudayaan, fakta ini menunjukkan mengenai bagaimana sikap urang Sunda
terhadap Islam yang datang setelah sebelumnya mereka mengenal ajaran
animism-dinamisme dan Hindu-Budha. Sikap inilah yang dapat membuka
pemahaman kita mengenai mengapa urang Sunda menjadikan sebagian
identitasnya adalah Islam hingga muncul istilah “Islam teh Sunda; Sunda
teh Islam”(Islam itu Sunda; Sunda itu Islam).
2. Falsafah Hidup Urang Sunda
Bila mitos di atas dapat berguna untuk menjelaskan bagaimana pada tahap
awal urang Sunda dapat menerima Islam, maka penjelasan mengenai falsafah
hidup jurang Sunda saat ini penting untuk memahami betapa intensifnya
hubungan Islam dan Sunda hingga saat ini. Apabila falsafah hidup yang
dianut ternyata mendapat pengaruh kuat dari Islam, maka hampir dapat
dipastikan bahwa Islam telah meresap menjadi bagian tak terpisahkan dari
kebudayaan masyarakat Sunda. Inilah yang akan digali pada bagian ini.
Menggali falsafah hidup tentu saja harus diambil dari keseharian
kehidupan masyarakat Sunda. Jejak-jejak budaya yang hidup
sehari-hari-lah yang akan memberikan banyak informasi mengenai bagaimana
urang Sunda mendefinisikan kehidupannya dan bagaimana mereka harus
menjalaninya. Salah satu jejak budaya yang cukup representatif untuk
menggambarkan mengenai falsafah hidup yang dianut urang Sunda adalah
warisan peribahasa dan pepatah yang hidup di tengah masyarakat. Dalam
bahasa Sunda yang demikian disebut paribasa dan babasan.
Di balik peribahasa dan pepatah itu tentu tersimpan suatu pandangan
hidup tertentu (worldview). Pandangan hidup inilah yang menjadi kerangka
dasar masyarakat yang bersangkutan melihat dan menafsirkan berbagai
realitas yang dihadapinya. Di sini pula dengan segera akan ditemukan
sejauh mana Islam berpengaruh membentuk pandangan hidup masyarakat
Sunda.
Berkait dengan peribahasa, ada dua buku penting yang dapat dijadikan
rujukan, yaitu buku Mas Natawisastra berjudul Saratus Paribasa jeung
Babasan (cet. I thn. 1914; cet. II 1978) terdiri atas lima jilid. Buku
lainnya ditulis Samsoedi Babasan jeung Paribasa Sunda yang terbit tahun
1950-an. Dalam kedua buku tersebut termuat lebih dari 500 peribahasa
Sunda. Seluruhnya mewakili apa yang berkembang di tengah masyarakat
Sunda.
Menurut Ajip Rosidi, dari lebih 500 peribahasa, yang secara langsung
kosakatanya meminjam peristilahan Islam hanya ada sekitar 16 peribahasa.
Sisanya tidak meminjam peristilahan khusus Islam. Di antara babasan
yang ada kaitan langsung dengan Islam antara lain: Kokoro manggih Mulud,
puasa manggih Lebaran (Orang melarat bertemu perayaan Maulid Nabi, yang
berpuasa bertemu dengan Lebaran), Jauh ke bedug (Jauh ke suara bedug di
mesjid), dan sebagainya. Sementara peribahasa lain umumnya menggunakan
peristilahan yang umum dalam masyarakat Sunda dan tidak kaitannya secara
langsung dengan Islam contohnya antara lain: cul dog-dog tinggal igel
(menari tanpa diiringi lagi musik pengiring), kandel kulit beungeut
(tebal kulit muka), dan sebagainya.
Berdasarkan bacaan Rosidi, sekalipun peribahasa dan pepatah yang dibuat
tidak secara langsung menyerap istilah yang ada kaitan dengan
kebiadayaan Islam seperti tajug (mesjid), mulud (perayaan Maulid Nabi),
lebaran, puasa, dan semisalnya bukan berarti makna yang terkandung di
dalamnya juga tidak ada kaitan dengan Islam. Justru setelah keseluruhan
pepatah dibaca dan beberapa sampel pepatah dicontohkan, Rosidi
menyimpulkan:
Dengan demikian walaupun jumlah peribahasa yang tampak Islami tidak
banyak, namun kalau diteliti lebih lanjut, kebanyakan peribahasa Sunda
ternyata mengandung nilai-nilai yang sesuai dengan ajaran Islam. Dengan
demikian, pendapat yang pernah dikemukakan oleh almarhum H. Endang
Saifudin Anshari, MA bahwa “Islam teh Sunda, Sunda teh Islam” tidaklah
bertentangan dengan hasil pengamatan terhadap peribahasa Sunda.
Dalam kesimpulannya Rosidi setuju dengan pendapat Endang Saefudin
Anshary bahwa sesungguhnya antara Islam dengan Sunda tidak dapat
dipisahkan. Kebudayaan yang hidup di tengah masyaraqkat Sunda adalah
kebudayaan yang telah mendapat sentuhan Islam sangat kuat hingga
ajaran-ajaran Islam, sekalipun tidak harus dieksplisitkan ayat dan
hadisnya, telah membentuk pandangan hidup masyarakat Sunda. Tentu saja
Sunda yang dimaksud adalah kebudayaan Sunda kontemporer yang telah
mengalami Islamisasi amat intensif.
Sebagai contoh, ada peribahasa dalam bahasa Sunda mun teu ngarah moal
ngarih, mun teu ngakal moal ngakeul, mun teu ngoprek moal nyapek (kalau
tidak berusaha takkan mungkin mengangi nasi, kalau tidak menggunakan
akal tak nanti menanak nasi, kalau tidak bekerja tidak akan mungkin bisa
makan). Perihabasa ini mencerminkan bagaimana orang Sunda mengajarkan
bahwa hidup harus dihadapi dengan usaha dan ikhtiar, tidak boleh
berpangku tangan. Sekalipun kata-kata yang digunakan tidak menggunakan
istilah Islam, namun pepatah ini amat sesuai dengan ajaran Islam yang
memerintahkan untuk berusaha dan berikhtiar.
Akan tetapi, dalam kenyataan keseharian kehidupan masyarakat Sunda, ada
saja adat yang kelihatannya tidak mencerminkan perilaku yang dipengaruhi
Islam. Bisa jadi adat tersebut maih dipengaruhi oleh ajaran-ajaran
pra-Islam. Hal demikian adalah wajar mengingat proses Islamisasi adalah
proses “menjadi” yang mungkin saja di satu tempat sudah berubah
sementara di tempat lain belum. Karya H. Hasan Mustapa, Adat Istiadat
Sunda. Dalam buku ini, Mustapa yang tokoh intelektual Muslim Sunda abad
ke-19, memberikan penjelasan mengenai berbagai adat kebiasaan yang
dikerjakan masyarakat Sunda mulai adat saat melahirkan, mengkhitan,
menikahkan, menanam, kematian, dan sebagainya.
Dalam penjelasannya Mustapa menunjukkan apa pengaruh dan falsafah yang
ada di balik kebiasaan itu. Ada adat yang memang berkenaan dengan
kepercayaan pra-Islam, ada pula yang sudah menunjukkan pengaruh ajaran
Islam. Sebagai seorang intelektual Muslim, Mustapa secara proporsional
menempatkan adat kebiasaan urang Sunda yang dituliskan dalam kerangka
pandangan hidupnya sebagai Muslim. Dari sisi sumber intelektual,
sebetulnya karya Mustapa ini juga sudah menunjukkan secara tidak
langsung bahwa tokoh-tokoh intelektual Sunda seperti dirinya pada abad
ke-19 sudah memiliki pengaruh yang kuat dari Islam. Ini berarti bahwa
Islam sudah menjadi salah satu referensi inetelektual yang penting
sehingga adat kebiasaan yang berlaku pun ditimbang dalam kerangka Islam.
Mengenai persoalan ada sebagian masyarakat yang lebih memegang adat
daripada pengajaran baru, di dalam falsafah masyarakat Sunda sendiri
sudah disadari sejak awal. Ini tercermin dari peribahasa kuat adat batan
warah (lebih kuat adat daripada pengajaran). Ini menunjukkan bahwa adat
bukanlah harga mati. Bisa jadi, dengan datangnya pengajaran baru adat
akan berubah. Namun seringkali orang yang sudah telanjur memagang adat
tidak dapat dengan mudah meninggalkan kebiasaan-kebiasaannya hanya
karena ada pengajaran baru.
3. KESIMPULAN
Memahami Islamisasi di Tatar Sunda hanya melalui pendekatan sejarah yang
konvensional segera dihadapkan pada kesulitan mendapatkan data mengenai
detail Islamisasi. Data-data historis hanya menyebutkan beberapa tokoh
dengan kiprah mereka yang terbatas. Bagaimana tokoh-tokoh tersebut
melakukan Islamisasi sulit dilacak. Hanya angka-angka tahun umum yang
didapat yang menunjukkan kapan Islamisasi secara intensif di Tatar Sunda
berlangsung, yaitu sekitar abad ke-15 dan ke-16 sejak masa Sunan gunung
Djati. Itu pun tidak lengkap. Melalui penggalian data-data baru secara
terus menerus masih terbuka kesempatan untuk semakin memperjelas proses
Islamisasi Tatar Sunda secara historis.
Walaupun tidak jelas secara historis, kenyataan bahwa ke-Islam-an dan
ke-Sunda-an hampir tidak dapat dipisahkan menunjukkan bahwa telah
terjadi proses Islamisasi yang sangat intensif di wilayah Jawa bagian
barat ini. Oleh sebab itu, diperlukan perangkat analisis lain untuk
menjelaskan bagaimana hal ini dimungkinkan terjadi. Pendekatan
kebudayaan dengan menganalisis teks-teks mitos dan pepatah-peribahasa
yang hidup untuk menggali makanya secara kebudayaan dapat membantu kita
memahami intensifnya Islamisasi di Tatar Sunda. Mitos-mitos menunjukkan
bahwa mentalitas masyarakat Sunda memang sudah sangat siap menerima
Islam hingga Islam mudah disebarkan di wilayah ini dan berakar sangat
dalam dalam kebudayaan masyarakat. Falsafah yang tercermin dalam
berbagai pepatah dan peribahasa urang Sunda menunjukkan betapa dalam
pengaruh Islam bagi kehidupan mereka.
Penerimaan yang baik terhadap Islam inilah yang menyebabkan Islam dengan
mudah tersebar ke seluruh pelosok Tatar Sunda. Hampir tidak ada wilayah
yang tidak tersentuh Islamisasi. Bahkan ke pedalaman Banten pun yang
sukunya Baduy Dalam mengaku beragama “Sunda Wiwitan” sebetulnya Islam
sudah sampai dan diterima di sana. Hanya saja, Islam yang sampai ke
Baduy baru ajaran dasarnya saja, yaitu syahadatain. Hal ini dapat
dilihat dari praktik ajaran Sunda Wiwitan yang mereka anut. Mereka
mengucapkan syahadatain yang sangat khas Islam. Mereka pun mengakui
bahwa sebetulnya mereka sudah menerima Islam, tetapi hanya kabagean
Sahadatna wungkul, hanya mendapatkan Sahadatnya saja, sedangkan
ketentuan lain seperti shalat, puasa, dan sebagainya tidak mereka
ketahui. Ini menandakan sudah ada usaha menyebarkan Islam ke kawasan
Baduy, hanya saja prosesnya terhenti entah karena alasan apa. Sangat
mungkin, faktor geografis yang tidak mudah dijangkau membuat proses
Islamisasi di wilayah ini tidak berlanjut.
Melihat kenyataan tentang Islamisasi yang intensif di wilayah ini, hal
lain yang harus menjadi catatan dan didalami lebih lanjut adalah
mengenai bagaimana para pendakwah Islam dapat menyebarkan Islam di
wilayah ini dengan baik. Tentu ada strategi khusus hingga apa yang
mereka bawa, sekalipun ajaran baru, dapat diterima dengan baik, damai,
dan tanpa gejolak. Dugaan sementara yang masih harus terus didalami,
para pendakwah Islam saat itu berhasil masuk ke dalam urat nadi
masyarakat Sunda melalui pendekatan budaya yang intensif, selain melalui
perdagangan dan politik seperti yang selama ini dipercayai oleh banyak
sarjana mengenai proses Islamisasi di Nusantara. Bukti yang paling
sementara ini paling meyakinkan adalah bertebarannya berbagai teks
sastra (wawacan) yang berisi ajaran-ajaran Islam. Biasanya teks-teks
wawacan itu akan menjadi bahan yang disampaikan kepada khalayak melalui
forum-forum kebudayaan yang hidup saat itu.
Saat ini masih ada budaya membaca wawacan yang tersisa seperti tradisi
Beluk dan Sawer dalam upacara pernikahan. Saat ini, kedua tradisi itu
bukan lagi merupakan praktik budaya yang berpengaruh bagi urang Sunda
modern. Akan tetapi, masih tersisanya tradisi melagukan wawacan
menandakan bahwa di masa lalu praktik budaya semacam itu cukup penting
sebagai media menyampaikan ajaran-ajaran tertentu, salah satunya ajaran
Islam. Kreativitas mengemas pesan-pesan dakwah melalui media budaya yang
hidup pada zamannya inilah yang diduga menjadi salah satu yang
menyebabkan Islam mudah diterima di kalangan masyarakat Sunda. Sekali
lagi, ini perlu pengkajian lebih lanjut. Wallâhu a’lam bi al-Shawwâb.
Sumber dan Daftar Pustaka : jejakislam.net